Usulan Menteri Muhadjir


Muhadjir Effendy bikin hal. Mendikbud pengganti Anies Baswedan itu sedang ngetes reaksi publik. Ia bikin program full day school, sekolah sepanjang hari. Sederhana saja alasannya: anak-anak tidak liar karena, sebagian, orangtua mereka bekerja.

Pak Muhadjir pasti sudah menduga bahwa publik akan bereaksi atas usulannya itu. Makanya, ia lapor wakil presiden, yang menurutnya mendapat respon positif. Publik bereaksi, target pak menteri berhasil.

Pihak yang paling bereaksi tentu saja orangtua.
Ada yang sebut pak menteri sedang lelah karena terlalu lama menjadi akademisi. Ada yang juga kurang berkenan. “Kok bikin terobosan, menyakitkan hati.”

Pak Muhadjir lupa, kalau rumah juga sekolah. Lingkungan di rumah juga sekolah. Bermain di sekitar rumah juga sekolah. Bagi orang-orang di kampung, pergi ke ladang, pergi ke hutan, pergi ke sawah, mencari durian, berburu binatang juga sekolah. Hal-hal sederhana yang tak pernah diterima anak-anak kami di sekolah.

Di hutan, anak-anak kami belajar mengenal pepohonan. Di sawah, anak-anak kami belajar cara bercocok tanam, menyiangi padi, juga belajar menuai. Di sungai, anak-anak kami belajar menangkap ikan, belajar menikmati bening air yang sejuk. Semua itu tidak anak-anak kami terima di bangku sekolah, jika mereka harus bersekolah sepanjang hari.

Mungkin benar kata kawan saya, “Mungkin pak menteri sedang lelah.” Sehingga lupa, kalau Indonesia itu tidak hanya Jakarta saja. Indonesia bukan hanya Malang saja. Indonesia bukan hanya pulau Jawa saja. Kampung saya, yang tidak ada dalam peta juga Indonesia. Itu pun kalau diakui. Kalau tidak, ya sudahlah. Biarlah kami tetap berada dalam wilayah yang selamanya tidak ada dalam peta.

Betul juga kata teman saya, “bikin terobosan kok menyakitkan hati.” Guru-guru, orangtua, dan anak-anak akan menjadi orang yang menerima dampak dari usulan kebijakan itu. Guru sudah pasti meminta gaji lebih dari waktu sekolah seperti sekarang ini. Orangtua sudah pasti mengeluarkan banyak biaya untuk anak-anaknya. Sebab, sekolah gratis hanya milik negeri. Swasta tidak. Belum lagi, uang jajan anak akan bertambah.

Anak-anak pasti resah karena sepanjang hari hidupnya hanya pada lokasi yang sama selama bertahun-tahun. Pulang pukul satu siang saja, anak-anak kami sudah kuyu. Mereka perlu tidur siang, agar lebih segar ketika sore pukul empat bermain bersama teman di komplek. Cerita tentang sekolah, tentang pelajaran, tentang hasil ulangan, hingga bermain tapok pipit, juga bermain guli.

Pak Menteri bilang ini sudah diterapkan oleh beberapa swasta di Indonesia. Jadikan saja mereka pilot project ya. Jangan sekolah anak-anak kami. Nanti kami demo besar-besaran, atau memindahkan anak-anak kami dari sekolah itu. Kasian kan sekolahnya menjadi tidak punya murid. Ah, yang ini kayaknya lebay ya. Jangan terlalu diseriusi. Namanya juga, pak menteri lagi ngetes reaksi publik.

Menurut saya, ini menurut saya ya. Bisa saja beda menurut anda. Apalagi pak menteri. Kenal pun tidak. Apalagi bertemu. Saya saja baru tahu, pak Muhadjir itu setelah ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi menteri. Itu pun menggantikan Anies Baswedan, yang disukai banyak orang. Pergantian yang disesalkan. Lalu sekarang bikin kebijakan yang menyakitkan hati banyak orang. Sudahlah, saya hanya mengira saja. Tak perlu marah.

Sebenarnya ada yang lebih penting dari full day school ini. Apa itu? Penerapan kurikulum. Sebelum Muhammad Nuh lengser, kurikulum 2013 yang mengganti kurikulum 2006 mulai diterapkan. Semua orang ribut. Lalu, Nuh diganti oleh Anies. Ia lalu menghentikan kurikulum 2013, kembali ke kurikulum 2006. Tapi, sekali lagi, Anies tidak tegas menghentikan. Ia masih memberi peluang kepada sekolah-sekolah yang sudah lebih dari dua semester menerapkannya untuk melanjutkan. Ini mengakibatkan sekolah-sekolah tidak seragam dalam hal kurikulum. Beberapa daerah masih mempertahankan dengan menunjuk sekolah percontohan.

Orangtua resah, terutama anak-anaknya yang hendak mengikuti ujian nasional. Soal ujian nasional dibuat berbasis kurikulum 2006, sementara anak-anak mereka belajar menggunakan kurikulum 2013.
Dua kurikulum berbeda diterapkan, tapi soal ujian nasional diambil dari kurikulum sepihak saja. Anak-anak yang belajar dari kurikulum 2013, jelas tertinggal dibandingkan anak-anak yang belajar kurikulum 2006.

Di kurikulum 2013, tidak ada bidang studi lagi. Guru yang mengajar juga satu, namanya guru kelas. anak-anak diajak kreatif. Cukup bagus sebenarnya, tapi pelaksanaan yang tidak merata membuat ketimpangan dalam kualitas sekolah. Nilai ujian pada sekolah yang menerapkan kurikulum 2013 tidak sama ketika mereka menerapkan kurikulum 2006.

Mestinya, saya sarankan, Pak Menteri Muhadjir selesaikan dulu revisi kurikulum 2013 yang ditinggakan Anies Baswedan. Atau, Pak Muhadjir mengeluarkan surat agar semua sekolah menghentikan penerapkan kurikulum 2013. Tidak ada sekolah percontohan. Atau yang paling gampang, bagi sekolah-sekolah yang menerapkan kurikulum 2013, soal ujian nasional disusun berdasarkan materi pada kurikulum itu, bukan berbasis kurikulum 2006.

Dah itu jak. Sebaiknya Pak Menteri Muhadjir melupakan usulan full day school itu. Nanti bapak kena marahkan orang se-Indonesia. Masak sih bapak mau dimarahi orang se-republik ini. Saya usulkan Pak Menteri Muhadjir fokus menyelesaikan masalah kurikulum saja. Sudah sepuluh tahun, kurikulum 2006 diterapkan. Sudah terlalu lama itu. Kan sudah ada kurikulum 2013 yang isinya sebagian direvisi. Infonya sudah selesai. Kalau sudah, segeralah pak bikin keputusan, mau diterapkan atau dicabut. Tegas dong.

Eh, dahlah. Ndak usah panjang-panjang. Nanti banyak merampotnya. Ini jak dah banyak merampot. Kalau baca, baca jak. Kalau mau komen, komen jak, tapi jangan marah ya.

Ngopi lok, ah.

Budi Miank
Pontianak, 9 Agustus 2016

LihatTutupKomentar