Malam Minggu di Petrina
Saya sudah sangat akrab dengan asrama ini. Ketika masih berjuang meraih gelar akademik, Sabtu dan Minggu, lebih banyak menghabiskan waktu di tempat ini. Sekadar mengobrol, bahkan untuk sekadar mencari segelas kopi, teh, bahkan sepiring nasi. Nah, malam itu mengingatkan saya pada tahun-tahun yang sudah lama berlalu.
Petrina sudah berubah. Jika dulu, asrama ini belum memiliki aula untuk berdiskusi. Sekarang sudah punya dan sangat memadai. Bangunan baru, setidaknya bagi saya, ini berada di depan unit satu, membelakangi gedung Widya Dharma. Ada beberapa karya foto yang dipajang di situ, seperti foto kegiatan Orientasi Pengenalan Lingkungan Asrama, yang mereka singkat menjadi OPLA. Ada juga struktur organisasi pengurus asrama. Bersih pastinya. Kami berdiskusi lebih enak duduk di lantai ketimbang di kursi.
Saya tidak datang sendiri. Ada Bruder Hilarinus Tampajara yang sudah lebih dulu tiba. Saya tiba setengah jam kemudian. Saya kirim pesan ke Bruder Hila, “ngopi dulu biar tak cun.” Selesai seruput kopi, saya meluncur ke lokasi. Ketua Asrama Petrina, Emy menyambut.
“Masuk jak. Di bagian belakang,” katanya.
Saya mahfum kalau bagian belakang yang dimaksud itu Petrina Unit Satu. Bruder Hila sudah menunggu sambil mengisap sigaretnya. Sesekali ia memainkan gadgetnya. Beberapa penghuni asrama melewati kami seraya melemparkan senyum. Keramahan tetap terjaga, seperti tahun-tahun yang lama berlalu. Saya seperti bernostalgia. Huaaaaa......
Malam itu, kami tidak berkunjung seperti yang biasa dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Malam itu, kami bertamu untuk berdiskusi. Ada aula yang siap menjadi tempat bagi kami bertomu. Kami akan berdiskusi tentang dunia literasi, dunia yang selama ini saya geluti sejak memilih jalan tersebut, dengan sebuah harapan akan lahir penulis bagus dari asrama yang hebat itu.
Saya kaget. Penghuni Petrina begitu kompak. Banyak mereka hadir. Beberapa yang tidak hadir karena masih berada di kampus. Lebih menggembirakan lagi, mereka memiliki harapan yang sama. Harapan bisa menulis dengan baik. Harapan yang harus terus dijaga dan dirawat. Sebab, apapun pekerjaan yang akan digeluti nanti, menulis niscaya akan bisa berjalan beriringan.
Seperti kata Erasmus (1466-1536), “crescit scribendo scribendi studium – dengan menulis hasrat untuk menulis semakin berkembang.”
Pontianak, 25 September 2016
Budi Miank