Menteri Anies

Anies Baswedan. Foto: cvgadget.com

Joko Widodo memberi efek kejut kepada banyak orang ketika merombak personel kabinet kerja. Ia mengganti Anies Baswedan dengan Muhadjir sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pergantian ini memantik banyak analisis atau semacamnya, mulai dari yang ecek-ecek hingga tidak ecek-ecek.

Ada yang bergurau, kalau Anies diganti karena membuat surat edaran agar orangtua meluangkan waktunya mengantar anak pada hari pertama masuk sekolah. Anies lupa meminta orangtua meluangkan waktu untuk menjemput anak pada hari pertama itu. Hasilnya banyak anak-anak yang tidak dijemput orangtuanya di sekolah. Tentu saja, ini analisis yang tak masuk akal. Namanya juga bergurau. Tak perlu diseriusi. Begitu kan?

Teman saya, yang seorang guru, juga bertanya soal efek kejut dari Mr. President ini. Tapi dia tak mencibir. Hanya heran dengan keputusan mengganti Anies, yang menurut dia, smart, humanis, dan benar-benar berniat memajukan dunia pendidikan di republik ini. Mudah-mudahan saja, teman saya yang guru itu, sudah mendapat jawaban dari pertanyaannya tadi. Semoga ya? Kalau belum, anggap saja maksud presiden baik. Berpikir positif itu bagus. Itu kata motivator yang sering nongol di tipi.

Saya ingin ikut-ikutan kayak orang kebanyakan. Biar kekinian. Kalau tidak, nanti saya dibilang tak gaul. Yah, sekadar sesekali menulis kebijakan pak presiden, bolehlah.

Jelas, ini pandangan subyektif saya sebagai satu dari jutaan orangtua yang selalu mengantar anak ke sekolah, juga menjemputnya. Sebagai satu dari beberapa orang yang menyebut dirinya agen ternak: ayah ganteng antar anak. Ah, yang ini pasti suka-suka dari kami, biar sedikit terhibur. Narsis sedikit bolehlah, biar dibilang eksis.

Saya belum pernah bertemu Anies, setidaknya hingga tulisan ini dibuat. Saya hanya tahu Anies dari publikasi media massa. Sudah barang tentu, Anies tak mengenal saya. Bertemu saja tidak pernah, apalagi kenal. Saya senang dengan sosok Anies yang terpublikasi sangat santun, cerdas, dan memikat. Ia pernah menjadi rektor di Paramadina. Lalu membuat program Indonesia mengajar. Menurut saya, ini program yang cerdas untuk membantu wilayah-wilayah yang tidak memiliki cukup guru.

Hampir dua tahun menjadi Mendikbud, Anies memberi harapan. Dia menjadikan ujian nasional bukan satu-satunya indikator kelulusan siswa. Hal yang menakutkan bagi banyak siswa selama ini. Dalam pengetahuan saya, semoga saja benar, tahun 2016 tidak ada laporan atau berita tentang siswa yang bunuh diri karena tidak lulus ujian nasional. Di sini, Anies berhasil memberi harapan kepada siswa untuk tidak takut terhadap ujian nasional.

Anies juga mengajak orangtua meluangkan waktu untuk mengantar anak ketika hari pertama masuk sekolah. Hal kecil yang memberi manfaat besar bagi keluarga di Indonesia. Kebijakan yang benar-benar mendapat respon positif dari publik. Bahkan, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengikuti ajakan Anies ini. Begitu juga dengan pesohor negeri lainnya. Eh, macam tahu saja aku nih.

Kembali saya ingatkan ya, ini pandangan subyektif. Tak perlu ditanggapi serius. Kalau mau membacanya hingga habis, saya terima kasih. Bukankah membaca itu juga bagian dari program kementerian pendidikan. Sebab, minat baca kita masih jauh dari negara-negara lain. Eh, kok ngelantur lagi nih. Habis berapa botol semalam bang?

Jokowi dan Jusuf Kalla ini punya program yang namanya Kartu Indonesia Pintar. Di Kalbar, semoga saja saya betul, baru sekali kartu itu dibagikan. Ketika Jokowi datang meresmikan Jembatan Kapuas Tayan, yang kemudian diberi nama Jembatan Pak Kasih. Mungkin saja, kartu-kartu itu sudah didistribusikan dengan baik. Tapi kok, saya tidak mendengar. Ah, telingaku saja yang kurang baik. Mungkin perlu ke dokter THT.

Terus apa lagi ya?

Ketika Muhammad Nuh menjadi menteri, di ujung masa jabatan, diberlakukan kurikulum 2013. Kurikulum yang kata banyak orang belum siap diterapkan. Tak ada lagi guru bidang studi. Pelajaran disebut tematik. Satu guru satu kelas, kecuali pelajaran seperti Agama, Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin, juga Penjaskes. Guru pusing. Siswa pusing. Orangtua juga pusing. Pemerintah di daerah juga pusing.

Lalu Anies masuk. Dia dipilih Jokowi sebagai Mendikbud. Selaksa asa disematkan kepadanya. Berharap ada perubahan. Terutama menjawab kepusingan banyak orang tadi terkait kurikulum 2013 dengan membatalkannya hingga segala sesuatunya benar-benar siap.

Anies tak menjawab seluruh harapan itu. Dia memang membatalkan penerapan kurikulum 2013, tapi tidak secara tegas membatalkannya. Anies masih memberi peluang kepada sekolah-sekolah untuk menerapkannya. Sehingga sekolah tak seragam soal kurikulum. Di Pontianak, misalnya, pemkot menunjuk beberapa sekolah sebagai pilot project kurikulum 2013. Tapi pemkot tidak memberi kewenangan kepada sekolah-sekolah itu untuk membuat soal ujian nasional berbasis kurikulum 2013.

Tim pembuat soal menggunakan kurikulum 2006 sebagai basis membuat soal ujian nasional. Ini berbahaya bagi sekolah yang menerapkan kurikulum 2013. Bahan ajar antarkurikulum itu bertolak belakang. Disinilah menurut saya, Anies tak tegas. Mestinya dia tegas melarang semua sekolah di Indonesia menerapkan kurikulum 2013 dan kembali ke kurikulum 2006, hingga kurikulum 2013 benar-benar siap untuk diterapkan. Wah, sok tahu saja saya ini. Tahu pun tidak apa itu kurikulum. “Siape kau?!” kata Kamilonte.

Eh, dah lah. Panjang benar gak. Mending analisisnye bagos. Buang-buang waktu orang jak. Kayak dah paling tahu jak. Tapi tak apelah. Namenye gak belajar nulis. Belajar menganalisis. Belajar eksis, juga belajar narsis.

Kate P Ramlee, “jangan marah.” (*)


Budi Miank
Pontianak, 3 Agustus 2016

LihatTutupKomentar