Nyanyian Sapek di Perjamuan Senyap
Ketika senja menggantungkan kabut di sela-sela hutan Kalimantan, lelaki tua itu duduk di beranda rumah panggung yang mulai dimakan usia. Jemarinya yang keriput mengelus senar-senar kayu pada sapek yang sudah bertahun-tahun menemaninya. Kayu marong yang membentuk tubuh sapek itu sudah menghitam oleh waktu, namun suaranya masih jernih seperti arus sungai yang belum tercemar.
Namanya Lahiang. Seorang pemetik sapek terakhir di hulu Sungai Kahayan. Ia tak dikenal oleh dunia luar, tapi dalam semesta kecil sukunya, Lahiang adalah penjaga lagu-lagu purba yang diwariskan lewat nada, bukan aksara.
Setiap senar yang dipetiknya seperti membuka pintu pada masa lalu—ke masa ketika leluhur Dayak masih menyatu dengan hutan, berbicara dengan burung enggang, dan menenun takdir dengan bunyi, bukan kata. Sapek bukan sekadar alat musik, kata Lahiang, ia adalah suara hutan itu sendiri. Ia adalah pengingat bahwa hidup ini bukan soal memiliki, tapi mengalami.
Suatu hari, kabar datang lewat radio surau tua: sebuah festival budaya akan diadakan di sebuah tempat jauh di barat—di Gampong Sapek, di tanah Aceh Jaya. Pemerintah hendak menyatukan ragam budaya Nusantara dalam satu panggung besar.
Tak seorang pun dari desa Lahiang tahu di mana Aceh berada, kecuali anaknya yang bungsu, Jeni, yang pernah belajar geografi dari guru kontrak kota. Lahiang, yang sudah tua, tak punya keinginan meninggalkan hutan. Tapi ia tahu bahwa sapek tak boleh mati dalam sunyi. Ia harus berbunyi di tempat yang lebih luas.
Dengan berat hati, ia membungkus sapek dalam kain tenun tua, dan bersama Jeni, ia menyusuri sungai, menumpang kapal, naik bus tua, menunggu di terminal, hingga akhirnya menjejak tanah asing yang disebut Aceh.
Di sana, mereka disambut oleh keheningan yang aneh—suatu perasaan bahwa tanah itu pernah menangis dan belum sempat mengeringkan air matanya.
Festival budaya di Gampong Sapek bukan seperti yang dibayangkan. Tidak ada kemegahan. Hanya sebuah panggung kayu sederhana di bawah pohon cemara laut, dengan tikar anyaman pandan tempat orang-orang duduk bersila. Tapi di sanalah, segala suara menemukan tempatnya.
Ada debus dari Bireuen, saman dari Gayo Lues, dan dari Lahiang, suara sapek yang membuat orang-orang berhenti mengunyah. Alunan lagu yang ia mainkan tidak punya judul. Ia menyebutnya: “suara pohon yang tidak bisa lari saat dibakar.”
Nada-nada itu seperti membuka pintu pada ingatan lama manusia: tentang kesedihan, pengorbanan, dan cinta yang tak bersuara.
Seorang nenek di gampong itu berkata lirih, “Sapek... suara itu seperti suara suamiku yang hilang ditelan tsunami. Ia juga memetik alat seperti itu dulu...”
Lahiang hanya menunduk. Ia tahu, suara tidak mengenal batas suku, bahasa, atau agama. Nada adalah bahasa yang pertama sebelum manusia mengenal kata.
Pada malam kedua festival, seorang pemuda Gampong Sapek bernama Badrun mengundang Lahiang dan Jeni makan malam di rumah panggungnya. Di sana, ia menyajikan sepiring nasi putih, sambal hijau, dan ikan asin sapek yang digoreng kering. Aromanya tajam, menusuk, tapi tidak menyakitkan. Justru membangkitkan sesuatu yang dalam.
“Ikan ini kami sebut sapek juga,” kata Badrun sambil tersenyum. “Setiap rumah di sini pasti menyimpannya. Ia makanan orang susah, tapi menyelamatkan hidup banyak orang di hari tsunami.”
Lahiang mengangguk. “Di tempat kami, sapek bukan untuk dimakan, tapi untuk didengar. Tapi keduanya mengandung rasa yang sama: kesederhanaan yang menyelamatkan jiwa.”
Mereka makan dalam diam. Di sela-sela suara kunyahan, dunia terasa utuh.
Setelah malam perjamuan itu, Lahiang duduk sendiri di tepi laut. Ia menatap ombak yang datang seperti napas panjang bumi. Di tangannya, sapek itu tergenggam erat, seakan takut hilang oleh angin.
Ia teringat satu ajaran tua dari kepala suku: “Yang kau makan menentukan tubuhmu, yang kau dengar menentukan jiwamu, dan tempatmu berpijak menentukan jalanmu.”
Ketika seseorang mampu merangkul ketiganya, maka ia telah memahami hakikat menjadi manusia Dayak sejati: hidup dalam harmoni dengan rasa, ruang, dan suara.
Festival usai. Lahiang dan Jeni pulang. Tapi sapeknya tertinggal di Gampong Sapek. Ia sengaja meninggalkannya pada Badrun, agar suara itu terus hidup, bukan hanya di Kalimantan, tapi juga di Aceh.
“Biar dia belajar bicara dalam bahasa angin laut,” katanya pada Jeni.
Setahun kemudian, kabar datang bahwa Gampong Sapek membangun sebuah ruang kecil yang mereka sebut “Rumah Tiga Sapek”. Isinya hanya tiga benda: satu sapek alat musik dari Kalimantan, satu kendi berisi ikan asin sapek kering, dan satu peta tua yang menunjukkan lokasi desa mereka.
Bagi orang luar, itu mungkin hanya museum kecil. Tapi bagi mereka yang memahami, itu adalah perjamuan senyap dari tiga jenis kehidupan yang saling bersentuhan: rasa, suara, dan tempat.
Seorang anak muda bertanya pada Lahiang, yang kini menghabiskan hari-harinya duduk di dermaga kayu, “Kakek, kenapa suara sapek bisa membuat orang menangis?”
Lahiang hanya tersenyum dan berkata, “Karena suara itu berasal dari kayu yang pernah berdiri tegak, melihat manusia saling mencintai dan menyakiti. Ia tak punya mulut, jadi ia bicara lewat petikan. Dan suara itu... berasal dari luka yang tidak ingin dilupakan.”
Dan di bawah langit yang merah tembaga, sapek pun kembali berbunyi—tak lagi hanya milik Dayak, tapi milik semua yang pernah kehilangan dan tetap memilih untuk mendengar.(*)