Senja di Ujung Pelabuhan Jiwa


Angin sore berhembus pelan, mengusap wajah tua Aruna yang keriput. Di sampingnya, dalam keheningan yang akah, duduklah Abian, dengan mata menerawang jauh ke samudra yang membentang. Mereka berdua, seperti dua tiang dermaga tua yang kokoh, telah menyaksikan tak terhitung kapal berlayar dan kembali, membawa serta cerita-cerita baru dan melenyapkan cerita-cerita lama. 

Namun, cerita mereka, Aruna dan Abian, adalah kisah yang tetap terukir dalam setiap lekuk garis tangan mereka, dalam setiap helaan napas yang berbagi udara yang sama.

"Ingatkah kau, Bi," Aruna memulai, suaranya serak namun penuh melodi kenangan, "masa-masa ketika Badai Tuan mengamuk? Seolah alam ingin menguji seberapa kuat janji-janji yang kita ukir di bawah langit."

Abian menoleh, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Bagaimana mungkin aku lupa, Run? Ombak setinggi gunung, angin menderu bagai raungan monster purba. Dunia terasa runtuh, namun kau..." Matanya menatap lekat, "kau tetap di sampingku. Genggaman tanganmu adalah jangkar yang tak tergoyahkan."

"Dan salahkah aku saat itu, Bi," Aruna menuntut, pandangannya beralih ke cakrawala yang mulai memerah, "menuntut mesra di tengah kehancuran? Ketika logika mengatakan untuk menyelamatkan diri, instingku justru mencari dekapanmu."

Abian tertawa pelan, tawanya selembut desiran ombak di bibir pantai. "Mesra, Run, bukanlah sekadar sentuhan fisik. Ia adalah kebulatan hati yang memilih untuk tetap ada, untuk berbagi beban, untuk menolak menyerah pada keterpisahan. Dalam badai itu, mesramu adalah kepastian. 

Sebuah pernyataan eksistensi bahwa kita, sebagai dua individu yang terhubung, adalah satu entitas yang tak terpisahkan dari semesta ini, bahkan saat semesta itu sendiri bergejolak."

"Begitu mendalamkah maknanya?" Aruna bertanya, seolah baru menyadari kedalaman samudra yang ia arungi seumur hidupnya.

"Sangat dalam, Run. Filsafat bukanlah hanya tentang buku-buku tebal atau pemikiran rumit. Ia ada dalam setiap pilihan sadar yang kita buat, setiap napas yang kita hirup bersama. Ketika setiap pagi menjelang, dan kau di sampingku, itu bukan sekadar kebetulan. Itu adalah keberkahan yang kita pilih untuk tetap genggam. Keamanan yang kau rasakan bersamaku, dan yang kurasakan bersamamu, bukanlah fatamorgana. Ia adalah konstruksi nyata dari kepercayaan dan kehadiran."

******

Senja semakin merapat, mewarnai langit dengan spektrum warna yang memesona. Siluet mereka memanjang, seolah menyatu dengan bayangan dermaga.

"Lalu, Bi," Aruna melanjutkan, suaranya kini lebih reflektif, "bagaimana dengan 'selamanya'? Apakah itu sekadar harapan naif dari hati yang terlampau mencintai, atau ada esensi filosofis di baliknya?"

Abian menghela napas panjang, aroma garam laut memenuhi paru-parunya. "Selamanya, Run, dalam konteks kita, bukanlah tentang keabadian fisik yang mustahil digapai. Ia adalah janji jiwa yang melampaui batas waktu biologis. Kita tahu, tubuh ini fana. Ia akan menua, akan menjadi debu. Namun, esensi dari 'kita' yang terbangun selama ini, setiap tawa, setiap air mata, setiap dukungan, setiap keberanian yang kita bagi—itu yang abadi."

"Jadi, 'sampai kita tua, sampai jadi debu, ku di liang yang satu, ku di sebelahmu'… itu adalah metafora untuk keberlanjutan jiwa, bukan sekadar penempatan fisik di pemakaman?" Aruna menuntut penjelasan.

"Tepat sekali, Run. Liang yang satu bukanlah hanya kuburan. Ia adalah ruang esensi kita, tempat di mana kisah kita terukir abadi. Dan 'ku di sebelahmu' bukanlah sekadar posisi horizontal setelah kematian. Itu adalah afirmasi bahwa dalam setiap transisi eksistensi, baik fisik maupun non-fisik, kita tetap saling menemani. Kita adalah dua entitas yang terpisahkan oleh raga, namun tak terpisahkan oleh ikatan fundamental."

******

Malam mulai menyelimuti, bintang-bintang berkelip samar di langit yang gelap. Suara debur ombak terdengar lebih jelas, seolah menjadi latar musik bagi percakapan mereka.

"Badai Puan telah berlalu," Aruna berujar, mengulang frasa yang familiar, "seolah ada badai lain, yang berbeda, namun sama-sama menguji."

"Betul, Run," Abian mengangguk pelan. "Badai Tuan mungkin adalah gejolak eksternal, musibah, atau kesulitan hidup yang datang dari luar. Sementara Badai Puan, ia seringkali adalah taufan internal. Kekalutan batin, keraguan diri, kesepian yang menusuk meski kita dikelilingi banyak orang. Ia adalah ujian mental dan emosional yang tak kalah dahsyat."

"Dan lagi-lagi, salahkah aku menuntut mesra?" Aruna bertanya, kali ini dengan nada yang lebih merenung, seolah menuntut jawaban dari dirinya sendiri.

"Tidak pernah, Run. Terutama dalam Badai Puan, saat jiwa terasa kosong dan rapuh, sentuhan mesra bukanlah lagi keinginan, melainkan kebutuhan esensial. Ia adalah pengingat bahwa kau tidak sendiri dalam kegelapan itu. Bahwa ada seseorang yang peduli, yang melihat dan merasakan apa yang kau alami, dan bersedia menemanimu melaluinya. Kehadiranmu di sampingku, setiap kali taufan menyerang jiwaku, adalah bukti konkret dari cinta yang tak bersyarat. Kau aman ada bersamaku, bukan karena aku kuat, tapi karena kau memilih untuk berbagi kekuatanmu denganku."

Aruna menatap Abian, matanya berkaca-kaca di bawah cahaya rembulan yang samar. "Jadi, semua ini... bukan hanya tentang kita, Abian. Ini tentang makna keberadaan, tentang interkoneksi manusia, tentang pilihan untuk mencintai dan menemani dalam setiap dimensi waktu dan ruang."

Abian tersenyum, genggaman tangannya menguat. "Persis, Run. Kita adalah mikrokosmos dari sebuah kebenaran universal. Cinta, kesetiaan, kehadiran, adalah pilar-pilar yang menopang eksistensi kita di dunia yang fana ini. Dan dengan pilar-pilar itu, kita membangun jembatan menuju 'selamanya' yang sesungguhnya. Sampai kita tua, sampai menjadi debu, kita adalah satu kisah yang terus bergema di alam semesta, di setiap liang yang satu, di setiap momen kita berada di sebelah satu sama lain."

Keduanya terdiam, membiarkan keheningan malam dan debur ombak menjadi saksi bisu atas percakapan filosofis mereka. Di ujung pelabuhan jiwa, di mana waktu seolah berhenti, dua jiwa tua itu menemukan kedalaman arti dari keberadaan mereka, menyadari bahwa badai datang dan pergi, namun esensi dari 'kita' akan selalu abadi, selama mereka memilih untuk berada di sisi satu sama lain.

Boeah Oejoeng, 20062025

LihatTutupKomentar
Cancel