Panjang Daun Telinga, Pendek Jalan Pulang

[Foto: Ilustrasi]

Embun pagi belum sepenuhnya menguap dari daun-daun hutan. Di tepi Sungai Mahakam yang mengalir tenang, duduk seorang perempuan tua dengan telinga yang panjang menjuntai, dihiasi anting-anting perak berbentuk burung enggang. Di sebelahnya, seorang gadis remaja bersandar pada akar pohon ulin yang mencuat dari tanah, memandangi permukaan air tanpa bicara.

Namanya Nyaru, cucu dari Indu Juwing, salah satu tetua suku Dayak Kenyah yang masih memegang teguh tradisi Telingaan Aruu. Tapi ia bukan sekadar cucu; ia adalah satu-satunya waris darah bangsawan tua yang konon berasal dari jalur Raja Ayus.

Namun, warisan tak selalu sejalan dengan kehendak hati.

"Indu, kenapa harus telinga? Kenapa bukan tangan, atau hati saja yang dipanjangkan? Kan lebih berguna?" tanya Nyaru.

Indu Juwing tertawa pelan, suara tuanya seperti gemericik bambu tertiup angin.

"Kalau hatimu panjang, bisa-bisa kau maafkan orang yang seharusnya dihajar. Kalau tanganmu panjang, kau malah tukang copet. Tapi kalau telingamu panjang, kau belajar mendengar… bahkan hal yang tak ingin kau dengar,” kata Indu Juwing.

Nyaru menghela napas. Ia sudah mendengar filosofi itu sejak kecil, tapi hari ini bukan soal telinga semata. Ia memandang wajah neneknya, mencoba menyusun kata yang tepat, namun bibirnya lebih dulu menyerah.

"Aku mau pergi ke Samarinda, Indu," kata Nyaru.

Indu Juwing berhenti menganyam. Tangannya diam di udara.

"Pergi atau lari?"

"Kalau kubilang pergi, apa bedanya menurutmu?"

"Kalau kau pergi, kau bawa pulang cerita. Tapi kalau kau lari, kau tinggal di kota dan pulang hanya saat nenekmu mati."

Keduanya terdiam. Suara burung rangkong menyusup dari kejauhan, seperti mengisi kekosongan yang terlalu berat untuk diisi manusia.

"Indu... aku tak sanggup jadi seperti yang kau harapkan. Aku tak mau memanjangkan telingaku. Aku tak mau jadi simbol dari sesuatu yang tak kupahami seutuhnya. Aku... merasa ini semua bukan untukku," kata Nyaru lembut.

Indu Juwing menatap cucunya dengan mata yang sudah banyak kehilangan, tapi juga menyimpan dunia yang tak bisa dibaca dari buku manapun.

"Nyaru, setiap orang punya cara sendiri menjadi Dayak. Tapi kau tak bisa memilih tak menjadi Dayak hanya karena berat. Kalau kau mencintai pohon, kau tak bisa minta daunnya jatuh satu-satu. Daun gugur karena musim, bukan karena kehendakmu."

"Tapi Indu, zaman sudah berubah. Di kota, orang menertawai telinga panjang. Mereka bilang itu kuno. Bahkan dosenku bilang, 'kenapa kalian Dayak suka menyiksa diri?'"

Indu Juwing tersenyum getir. "Lalu kau percaya dia, bukan aku?"

"Aku percaya logika, Indu. Dan logika bilang, penderitaan tak perlu dipelajari," ungkap Nyaru pelan nyaris tak terdengar.

Indu Juwing berdiri perlahan, menggenggam tongkat kayu gaharu. Ia berjalan pelan ke arah sungai, telinganya bergoyang lembut diterpa angin. Nyaru mengikutinya tanpa sadar.

"Dulu, saat Indu seusiamu, aku juga memberontak. Aku bilang pada kakekmu: 'Kenapa harus pakai hisang semhaa? Berat. Sakit.' Tapi dia bilang begini..."

Ia menoleh, matanya berkilat seperti air sungai yang terkena cahaya pagi.

"‘Karena hidup itu berat, dan kecantikan bukan pada ringan tubuh, tapi pada beratnya makna.’"

Nyaru tertawa kecil, meski matanya berkaca-kaca.

"Kalau begitu, aku memang belum cantik, ya?"

Indu Juwing sambil tersenyum. "Belum. Tapi kamu lucu. Itu cukup untuk sementara."

Mereka tertawa bersama. Tapi tawa Nyaru mengandung sesuatu yang tak selesai: luka yang belum sembuh, pertanyaan yang belum mendapat jawaban.

Dua hari kemudian

Nyaru berdiri di depan cermin. Di telinganya sudah tergantung hisang kavaat kecil, anting simbol awal bagi perempuan Dayak yang memulai tradisi Telingaan Aruu. Tapi ia tidak bahagia. Di kampus, ia jadi bahan bisik-bisik. Di sosial media, fotonya dipermainkan teman-temannya.

Ia menelepon seorang sahabatnya, Yusuf, mahasiswa filsafat yang selalu sok tahu, tapi jujur.

"Yus, kau yakin penderitaan bisa diajarkan? Aku merasa ini semua cuma romantisme budaya."

"Budaya itu kontrak sosial, Nyaru. Kalau kamu tak sepakat, kamu bebas keluar dari kontrak itu. Tapi keluar bukan berarti menghina yang memilih tinggal."

"Jadi aku egois?"

"Nggak. Tapi kamu harus tanya dirimu sendiri: kamu menolak karena kamu berpikir, atau karena kamu takut jadi berbeda?"

Hening.

Yusuf menambahkan, "Dan, ya, telinga panjangmu keren. Kamu kayak elf dalam mitologi, tapi lokal."

"Makasih. Kalau aku jadi elf, kamu jadi apa?"

"Aku? Aku tetep manusia biasa yang naksir elf-nya."

Nyaru tertawa keras. Meskipun hangat, suara itu penuh dengan kegamangan.

Seminggu kemudian, Nyaru kembali ke kampung. Kali ini tanpa keraguan. Ia membawa skripsinya: Makna Penderitaan dalam Tradisi Telingaan Aruu: Sebuah Tafsir Eksistensialisme Dayak Kenyah." Ia menyerahkannya pada Indu Juwing, yang membacanya tanpa membaca: karena hatinya sudah lebih dulu tahu isinya.

"Kau tahu, Nyaru... penderitaan bukan untuk ditakuti. Tapi juga bukan untuk dicari. Kita tidak mencari sakit, tapi kita tidak lari darinya,” kata Indu Juwing.

"Aku mengerti sekarang, Indu. Telinga ini bukan tentang menunjukkan siapa aku... tapi mengingatkan aku bahwa aku bisa menanggung sesuatu yang berat, tanpa kehilangan siapa diriku."

Indu Juwing tersenyum, menyentuh bahu Nyaru, "Kau tidak jadi aku, Nyaru. Tapi kau sudah jadi dirimu. Dan itu cukup."

Di malam upacara adat, Nyaru berdiri di depan api unggun, rambutnya digelung, anting panjang bergoyang di bawah bulan. Ia menari dengan gerakan yang belum sempurna, tapi matanya tak lagi ragu.

Orang-orang kampung bersorak. Beberapa anak kecil menirukannya, tertawa-tawa. Dari kejauhan, Yusuf mengirim pesan singkat:

“Elf-nya sudah menari. Tapi tolong jangan menikah dengan kurcaci kampung ya.”

Nyaru membalas:

“Tenang saja. Aku masih manusia. Tapi telingaku sekarang bisa mendengar lebih banyak.”(*)

LihatTutupKomentar
Cancel