Naik Dango Terakhir di Hati Ayah

[Foto: Ilustrasi]

Suara gong bertalu, memecah kesunyian bukit-bukit di Mempawah. Embun pagi masih memeluk erat dedaunan, namun desa sudah riuh oleh persiapan. Naik Dango, hari yang paling dinantikan, akhirnya tiba. Hari di mana lumbung padi dinaikkan, dan hati yang kering dinaungi rasa syukur.

Pagi itu, Kisa tidak ikut sibuk. Ia hanya duduk di teras, menatap punggung ayahnya, Apai Jani, yang bergegas menuju dango, lumbung padi yang terbuat dari kayu ulin. Apai Jani adalah ketua adat, tubuhnya gagah, langkahnya tegap, seolah memikul seluruh beban tradisi. Namun, di mata Kisa, ada sesuatu yang hilang dari ayahnya. Semacam semangat yang pernah membara, kini hanya menjadi bara yang meredup.

“Ai, kenapa tidak membantu?” sapa Dayang, bibi Kisa yang ceria, membawa keranjang berisi tumpi (kue tradisional) yang baru diangkat dari kukusan.

Kisa hanya menggeleng. “Tidak ada gunanya, Uwa Dayang. Semua ini hanya ritual kosong.”

Dayang mengernyitkan dahi, duduk di samping Kisa. “Kosong? Matahari saja tidak kosong, Kisa. Ia datang setiap pagi mengisi langit, memberi cahaya pada padi-padi yang kita panen. Mengapa hatimu kosong?”

“Padi-padi itu memang ada, tapi hati ini tidak. Untuk apa bersyukur atas sesuatu yang tidak kita miliki?” Kisa menunduk.

“Apa yang tidak kau miliki? Kamu memiliki tangan untuk memetik padi, kaki untuk melangkah ke sawah. Tuhan sudah memberikan itu. Sisanya, adalah bagian kita untuk mengisi,” ujar Dayang lembut.

“Bagaimana jika yang mengisi itu adalah kehampaan?” Kisa mendesah. “Ayah… ia tidak pernah benar-benar ada. Hanya ada raganya di sini, jiwanya entah ke mana.”

Dayang menatap Kisa dengan tatapan penuh pengertian. Ia tahu apa yang Kisa rasakan. Sejak ibunya meninggal dua tahun lalu, Apai Jani memang berubah. Rasa syukur yang biasa ia gemakan kini hanya menjadi suara yang terucap di bibir, tanpa getaran di hati. Padi memang melimpah, tapi hati mereka terasa kering. 

Tiba-tiba, terdengar suara tawa riuh. Murod, sahabat Kisa, datang bersama Apai Lidi, ayahnya. Mereka membawa beberapa keranjang hasil panen, langkah mereka ringan, penuh kegembiraan.

“Heh, anak burung! Kok lesu begitu? Jangan-jangan belum sarapan?” Murod berseru, menepuk bahu Kisa.

“Burung apa yang tidak bisa terbang?” tanya Kisa dengan nada datar.

Murod tertawa. “Burung puyuh yang habis makan banyak, lalu malas terbang!”

“Bukan, Murod. Burung yang sayapnya sudah patah,” balas Kisa, kali ini senyum tipis terukir di bibirnya.

“Kalau begitu, mari kita luruskan sayapmu. Ayo, bantu aku bawa keranjang ini,” ajak Murod, lalu menarik Kisa.

Kisa terpaksa ikut. Mereka berjalan beriringan menuju rumah panjang, tempat upacara adat akan digelar. Apai Jani sudah berada di sana, sibuk mempersiapkan persembahan. Ia melirik Kisa sekilas, namun tidak ada kata yang terucap. Tatapan mata itu kosong, seolah menatap objek yang tidak terlihat.

“Apai Jani terlihat lelah,” bisik Murod.

“Ia sudah lelah sejak lama,” jawab Kisa. “Sejak Ibu meninggal. Ia bilang, ia tidak bisa merasakan kebahagiaan lagi. Seperti ada lubang besar di dadanya yang tidak bisa diisi.”

“Lubang itu bukan untuk diisi, Kisa,” kata Murod, suaranya tiba-tiba berubah serius.

“Ia untuk dilalui. Agar angin bisa masuk, membawa aroma dari luar. Kalau lubang itu ditutup, ia hanya akan menjadi peti mati bagi perasaanmu.”

Kisa terdiam. Kalimat Murod menusuk tepat ke dalam hatinya. Ia tahu, Apai Jani telah menutup lubang itu, mengunci diri dalam kesedihan.

Upacara dimulai. Apai Jani memimpin ritual. Ia memanjatkan doa, mengucapkan mantra-mantra dalam bahasa adat. Suaranya lantang, namun Kisa bisa merasakan getaran hampa di baliknya. Matanya tak menatap langit, melainkan menatap kosong ke depan, seolah berbicara pada bayangan.

Kisa teringat ibunya. Ibunya, seperti Dayang, selalu tersenyum. Senyumnya seperti sinar matahari yang menghangatkan. Ia selalu bilang, “Syukur itu seperti benih, Kisa. Kamu tanam di hati, rawat dengan doa, dan ia akan tumbuh menjadi kebahagiaan yang tidak akan pernah layu.”

Namun, benih itu kini terasa mati. Tidak ada lagi tawa riang ibunya, hanya ada kesunyian yang memekakkan telinga. Apai Jani memilih untuk membiarkan kesunyian itu menguasai dirinya, dan Kisa terperangkap di dalamnya.

Setelah ritual selesai, tibalah saatnya untuk menaikkan padi ke dalam dango. Anak-anak muda bergotong royong. Kisa melihat Apai Jani berdiri di dekat dango, mengawasi tanpa emosi. Ia melihat Murod tertawa lepas, ia melihat Apai Lidi tersenyum bangga melihat anaknya, ia melihat Dayang yang ceria mengipasi tumpi-nya. Hanya ayahnya yang tampak seperti patung.

Kisa tidak tahan lagi. Ia melangkah mendekati ayahnya.

“Apai,” panggilnya pelan.

Apai Jani menoleh. “Ada apa?”

“Apai benar-benar tidak bahagia, ya?” tanya Kisa, suaranya bergetar.

Apai Jani terdiam sejenak. “Bahagia itu apa, Kisa? Seperti padi ini? Bisa diukur? Kalau kita punya satu karung, apakah kita satu karung bahagia? Kalau punya sepuluh, apakah kita sepuluh kali bahagia?”

“Bukan seperti itu, Apai. Bahagia itu ada di sini,” Kisa menunjuk dada ayahnya. “Bukan di dango.”

Apai Jani tersenyum miris. “Mungkin dango ini sudah kosong.”

“Dango itu tidak kosong, Apai! Kita baru saja menaikkan padi-padi itu. Dango ini penuh!” Kisa menaikkan suaranya. “Yang kosong itu hati Apai. Kenapa Apai terus membiarkan kesedihan ini memakan Apai hidup-hidup?”

Apai Jani menatap Kisa dengan tatapan yang akhirnya, setelah sekian lama, menunjukkan emosi. Ada kesedihan yang dalam, dan sedikit amarah.

“Kamu tidak mengerti, Kisa. Kamu tidak tahu rasanya kehilangan separuh dari jiwamu. Setiap kali aku melihatmu, aku teringat ibumu. Bagaimana aku bisa bahagia jika setiap napas yang kuambil terasa seperti pengkhianatan terhadapnya?”

Kisa menangis. “Justru itu, Apai! Ibu tidak akan mau melihat Apai seperti ini. Ibu ingin kita bahagia. Ibu selalu bilang, kalau kita tidak bersyukur, maka rezeki itu tidak akan berarti.”

“Lalu apa arti semua ini? Kita punya padi yang melimpah, tapi untuk apa? Aku bahkan tidak bisa merasakan nikmatnya. Apa yang harus aku syukuri? Udara yang masih bisa kuhirup? Atau kenyataan bahwa aku masih hidup, sementara dia tidak?” Apai Jani memejamkan mata, menahan air mata yang mendesak.

Tiba-tiba, Murod muncul di antara mereka, membawa keranjang padi terakhir. Ia melihat Apai Jani dan Kisa yang tegang. Ia tersenyum tipis.

“Apai, apakah Apai sudah coba bicara dengan padi ini?” tanyanya dengan nada canda. “Mungkin ia bisa memberikan sedikit hikmah.”

Apai Jani dan Kisa menatap Murod bingung.

“Padi ini, ia tidak tahu apa-apa. Ia hanya tumbuh, menguning, lalu dipanen,” Murod melanjutkan, kali ini suaranya lebih serius.

“Ia tidak peduli apakah kita bahagia atau sedih saat memanennya. Ia hanya menunaikan takdirnya untuk memberi makan. Syukur itu bukan untuk padi, Apai. Syukur itu untuk kita. Agar kita bisa menunaikan takdir kita untuk hidup dengan damai.”

Murod lalu meletakkan keranjang padi itu di kaki Apai Jani. “Padi ini sudah selesai. Sekarang giliran kita.”

Apai Jani menatap keranjang itu. Padi-padi itu tampak bersinar, memantulkan cahaya matahari. Ia membungkuk, menyentuh bulir-bulir padi yang sudah berisi itu. Entah mengapa, ia teringat bagaimana tangannya dan tangan istrinya dulu bersatu saat menabur benih-benih ini. Ia teringat tawa istrinya yang riang saat mereka menanam padi di lumpur.

Ia menoleh ke arah Kisa, yang masih berdiri di sana, menatapnya dengan mata penuh harapan. Apai Jani melihat bayangan istrinya dalam diri Kisa. Bayangan yang hidup, bayangan yang masih membutuhkan cintanya.

Apai Jani menghela napas panjang. “Maafkan Apai, Kisa. Apai salah. Apai hanya… terlalu takut untuk kembali merasa.”

Kisa memeluk ayahnya. Pelukan yang lama sekali. Di antara mereka, dango itu berdiri kokoh, penuh dengan padi. Di antara mereka, hati yang kering perlahan-lahan kembali basah oleh air mata dan kesadaran.

Pesta rakyat pun digelar. Tarian Monong dan Kinyah mengisi udara. Murod dan Kisa menari bersama, melupakan sejenak beban yang mereka pikul. Apai Jani duduk di samping Dayang, menyaksikan anaknya menari. Wajahnya tidak lagi kaku. Senyum tipis yang tulus akhirnya muncul.

Dayang tersenyum. “Lumbung itu akhirnya terisi penuh, Apai. Bukan hanya dengan padi, tapi dengan hati.”

Apai Jani mengangguk. “Ya. Dango ini memang untuk menyimpan padi. Tapi hati, itu lumbung untuk menyimpan syukur.”

Malam semakin larut. Kisa duduk di teras, memandang langit yang bertabur bintang. Ayahnya duduk di sampingnya. Mereka tidak berbicara, hanya menikmati kebersamaan.

“Kisa,” panggil Apai Jani akhirnya. “Apa yang kamu rasakan sekarang?”

“Seperti benih yang baru saja disiram, Apai. Segar,” jawab Kisa.

“Syukur itu memang seperti benih,” kata Apai Jani, mengulangi kata-kata mendiang istrinya. “Ia akan tumbuh, dan tidak akan pernah layu.”

Apai Jani menatap langit, lalu menatap putrinya. Ia meraih tangan Kisa, menggenggamnya erat. Tangan yang sudah lelah oleh kesedihan, kini kembali menemukan kekuatan.

Mungkin, dango yang sebenarnya bukan terbuat dari kayu ulin, melainkan dari hati yang lapang. Dango yang menampung bukan hanya hasil panen, melainkan juga rasa syukur, kesedihan, dan kerelaan untuk melepaskan.

Karena hanya dengan hati yang penuh, kita bisa melihat bahwa rezeki yang paling melimpah bukanlah yang ada di dalam lumbung, melainkan yang ada di dalam diri.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel