Hutan Ini Tidak Lelah Menunggu Pulang

(Foto: Ilustrasi)

Langit di atas Hutan Tembawang mulai meredup ketika Paran, lelaki paruh baya dengan sorot mata yang menyimpan musim-musim silam, berdiri di tepi kebun durian tua milik keluarganya. Suara tek-tek durian jatuh terdengar seperti dentang waktu, menggetarkan tanah dan juga dadanya.

“Aku tidak mencium wangi durian. Tandanya kamu sedang berpikir terlalu keras, Paran,” kata Lian, adik perempuannya, yang datang membawa segelas kopi pahit.

Paran hanya tersenyum tipis. “Orang berpikir karena hidup. Orang hidup karena masih bisa merasakan pahit.”

Lian tertawa kecil, “Lalu kenapa kamu memilih pahitnya kopi dan bukan manisnya rambutan?”

Paran tidak langsung menjawab. Ia menatap jauh ke pepohonan yang rimbun, dedaunan yang gugur dan bergoyang, seolah ikut menimbang-nimbang beban pikirannya. Di kejauhan, terdengar suara tawa anak-anak bermain di sungai kecil yang mengalir di balik Tembawang.

“Lian… kita harus bicara tentang tembawang ini,” ucap Paran akhirnya. Suaranya berat, seolah membawa berton-ton sejarah di baliknya.

Lian meletakkan kopi. “Kamu ingin menjualnya, ya?”

“Aku tidak ingin. Tapi aku... berpikir, mungkin itu jalan terbaik.”

“Terbaik untuk siapa?” suara Lian meninggi sedikit. “Untuk kamu yang lelah menjaga pohon tua ini, atau untuk generasi yang bahkan belum pernah menjejak akar leluhur mereka?”

Paran terdiam. Angin membawa aroma buah yang jatuh, manis, tajam, dan menyentuh kenangan.

“Kita tidak makan buah ini sendirian, Paran. Setiap durian jatuh, itu tanda bahwa leluhur kita masih memberi. Mereka tidak pernah minta balas, hanya minta kita jaga. Kita hanya peminjam tanah ini.”

Paran menunduk. “Aku tahu... Tapi anak-anakku, mereka tak mau kembali. Dunia mereka adalah gedung tinggi dan sinyal kuat, bukan lumpur dan daun.”

“Lalu kamu akan menukar roh leluhur dengan sinyal Wi-Fi?”

Sore makin turun. Paran dan Lian duduk di akar besar pohon Ulin tua. Di batangnya, tergurat ukiran nama leluhur mereka.

“Lian, aku hanya lelah. Setiap musim buah, aku datang sendiri. Tak ada yang peduli lagi. Bahkan keponakanmu yang bernama ‘Tembawang’ saja, tak tahu tembawang itu apa.” Paran tersenyum kecut.

Lian menggenggam tanah di sampingnya. “Paran, leluhur kita tidak menanam pohon ini untuk diri mereka sendiri. Mereka tahu buahnya baru akan dinikmati generasi berikut. Dan sekarang, kamu ingin berhenti menjaga hanya karena kamu sendiri?”

“Kesendirian bukan alasan, tapi juga bukan hal mudah.”

Lian menatapnya dalam. “Kamu bukan sendiri. Kamu hanya merasa sendiri. Kadang kesunyian membuat kita lupa bahwa suara pohon pun bisa menjadi pelipur.”

Mereka hening sejenak, lalu Lian membuka kelapa muda yang tadi ia bawa.

“Kalau kamu tetap nekat jual tembawang ini, aku akan minta arwah Apai datang tiap malam dan tarik kakimu dari tempat tidur!”

Paran tertawa renyah. “Kalau Apai bisa datang malam-malam cuma buat urusan tembawang, berarti arwahnya pun tidak tahan dengan dunia modern.”

Lian nyengir, “Kalau Apai hidup sekarang, dia pasti bikin kanal YouTube: Tembawang Talk with Apai Jangkang.”

“Dengan segmen ‘Petuah Pohon dan Politik Kebun’,” sambung Paran sambil tergelak.

Tawa itu menghentikan sejenak keretakan dalam dada mereka. Di balik canda, ada cinta yang masih berakar kuat.

Setelah tawa reda, Lian kembali serius. “Paran, aku tahu hidup tidak mudah. Anak-anak kita tumbuh dalam dunia yang tak mengenal akar. Tapi justru karena itu, kita perlu menjaga pohon ini. Bukan untuk kita. Tapi untuk mereka, saat mereka akhirnya lelah dan mencari pulang.”

Paran menarik napas panjang. “Kamu tahu, kadang aku iri pada pohon-pohon itu. Mereka diam, tapi tahu tempatnya. Aku bicara, tapi bahkan tak tahu untuk siapa.”

Lian menepuk pundaknya. “Mungkin karena kamu berpikir kamu sendirian. Tapi ingat, pohon tidak tumbuh sendirian. Mereka saling terhubung lewat akar di bawah tanah. Bahkan dalam diam, mereka saling menguatkan.”

Hari mulai gelap. Bintang perlahan muncul di atas kanopi hutan tembawang. Paran berdiri, menatap pohon durian tua yang telah berdiri lebih lama dari usianya sendiri.

“Aku tidak akan menjualnya, Lian. Tapi aku juga tak tahu bagaimana cara membuat anak-anakku peduli.”

Lian tersenyum lembut. “Kita tidak bisa memaksa pohon muda tumbuh cepat. Tapi kita bisa terus menyiram tanahnya dengan cerita, dengan kenangan, dengan kasih.”

Paran menunduk, lalu menempelkan telapak tangannya pada batang pohon durian.

“Mungkin... menjaga tembawang bukan soal hasil. Tapi soal menghormati akar. Akar sejarah, akar kasih, dan akar keberanian untuk tetap berdiri meski badai datang.”

Lian menambahkan pelan, “Dan juga akar untuk kembali... suatu saat nanti.”

Paran tersenyum untuk pertama kalinya hari itu tanpa beban. Di tengah gelap yang datang, tembawang tak hanya berdiri sebagai hutan buah, tetapi sebagai penjaga jiwa, penanda cinta, dan rumah yang diam-diam memanggil pulang.

Jika kamu ingin versi ini disesuaikan dengan konteks pembacaan publik, konten majalah budaya, atau tambahan tokoh dan alur lebih kompleks, tinggal beri tahu saja.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel