Biar Takdir yang Mempertemukan Kita

takdir, kita, mempertemukan, edelwis, senja di pantai, toko, buku, toko buku, petualang, petualangan


Aku percaya takdir selalu berjalan sesuai alurnya. Karena itu, apa pun usaha kita sekarang, jika takdirku bukan untukmu, semua usaha itu akan sia-sia. Tetapi, jika takdir kita tidak hanya untuk bertemu, tetapi juga bersatu, maka segala sesuatu akan menjadi mudah.

Aku masih ingat kala pertama kali bertemu denganmu. Pada sebuah toko buku yang tak jauh dari tempatmu tinggal. Kita tak pernah berani saling bertatap. Bahkan, cenderung untuk menghindari sebuah pertemuan. Namun, pada hari itu, kita tidak sengaja bertemu pada rak buku yang sama. Kita sama-sama mencari buku tentang sebuah pertualangan. Sepertinya, kita sama-sama suka alam terbuka, gunung, mungkin juga pantai.

Kamu hanya memberi sedikit senyum pada bibirmu. Aku hanya mengangguk. Setelah itu, beranjak pergi meninggalkanmu yang masih mencari buku yang pas. Pertemuan pertama itu menyisakan rasa penasaran. Senyummu yang tipis dan sekilas itu membuatku bertanya-tanya, “Siapa perempuan yang kutemui di toko buku tadi?”

Entah dorongan apa yang membuatku kembali datang ke toko buku itu. Aku hanya ingin melihat dan sekadar jalan-jalan saja. Mungkin ada buku baru yang cocok untuk hobiku, yang senang berpetualang di alam terbuka. Di ujung rak yang memajang buku-buku kisah petualangan, ekor mataku menangkap bayanganmu. Seorang perempuan yang kutemui dua minggu lalu di toko buku ini. Kehadiranmu membuatku senang sekaligus khawatir. Aku tak menyangka akan bertemu kamu pada tempat yang sama.

“Mungkin ini yang disebut takdir?” aku mencoba memberi jawab atas kusut tanya dalam diriku. “Ah, mungkin hanya kebetulan saja,” aku kembali menjawab tanya lain yang muncul dalam pikiranku.

Tetap saja aku tak berani menghampirimu. Walau aku yakin, kamu adalah perempuan yang kutemui dua minggu lalu di toko buku ini. Aku tak punya keberanian untuk sekadar bertanya, “Apa kabar?” atau menyapamu dengan sebuah senyum, yang mungkin saja tidak kauinginkan.

Tapi kemudian, kita saling berpapasan. Kamu kembali tersenyum. Lalu duduk pada kursi panjang yang disediakan bagi pengunjung untuk membaca buku. Tak sepatah kata pun yang keluar dari bibir mungilmu. Hanya senyum yang aku tidak tahu maknanya. Kemudian kamu larut dalam ribuan kata yang ada dalam buku di tanganmu. Sementara aku masih menerka-nerka, apa yang hendak kukatakan jika harus berani mendekatimu.

Aku tersenyum membalas senyummu. Aku merasakan getaran positif dalam hatiku. Kita tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku merasa yakin bahwa takdir memang telah mempertemukan kita. Aku bahagia karena bisa mengenal seseorang seperti kamu.

“Diandra,” katamu. Kembali senyum mengembang di bibir tipismu. Kamu mengulurkan tangan sambil menyebut namamu. Tetapi, aku tak berani untuk menerima salam tanganmu. Aku merasa tak pantas saja untuk bersalaman dengan orang secantik kamu. Melihatmu tersenyum dan bertemu denganmu saja sudah membuatku bahagia.

“Kenapa?” tanyamu ketika aku tak menerima uluran tanganmu untuk bersalaman.

Aku hanya diam. Aku merasa tak sanggup menjawab tanya yang kau berikan itu. Sebab, aku tak ingin pertemuan ini berakhir. Aku sudah jatuh cinta pada matamu yang teduh, bibirmu yang tipis, dan senyummu yang menghangatkan. Suatu hari nanti, aku ingin mengajakmu ke pantai menikmati senja. Dan, kita bisa membawa senja itu pulang.

Dua purnama telah berlalu. Aku tak pernah lagi melihatmu di toko buku, tempat kita pertama bertemu. Ada yang hilang dalam hari-hariku. Aku merasa bersalah karena belum mengenalmu lebih jauh. Walau begitu, aku percaya, suatu hari nanti, kita akan bertemu lagi.

“Aku percaya, takdir akan mempertemukan kita,” Aku mencoba menjawab banyak tanya dalam pikiranku tentangmu. Jika itu terjadi, aku akan ajak kau ke pantai. Menikmati senja yang pulang. Mungkin juga aku akan mengajakmu ke gunung, menikmati edelwis yang segar dengan embun tipis pada setiap ujung daunnya.[]

LihatTutupKomentar
Cancel