Akan Kuceritakan Tentang Rindu yang tak Sanggup Kutahan

cerita, senja, rindu, tak sanggup, kutahan, kapal bandong, tentang rindu, mencintaimu


Aku tahu bahwa kita sama-sama memiliki rasa cinta. Rasa yang kita rawat sejak kali pertama berjumpa. Tetapi, aku harus merelakan kau menjadi tiada. Ikhlas kehilangan ketulusanmu dalam mencintai. Aku memahami bahwa perjalanan cinta kita terbentur pada hal-hal yang di luar nalar.

“Kamu bukan takdirku. Begitu juga aku, bukan takdirmu. Aku tahu kau mencintaiku, begitu juga aku. Kau pun tahu itu, tetapi takdir tidak mempersatukan cinta itu,” katamu padaku ketika kita menikmati senja terakhir di kota ini.

Walau begitu, aku tetap mencintaimu. Hingga nanti pada satu waktu, dengan izin Tuhan, kau dan aku kembali dipertemukan. Walaupun pada ruang dan waktu yang berbeda. Jelas sekali bahwa kamu bukan milikku lagi. Begitu juga aku. Kita sama-sama telah melukis jejak cinta yang lain. Aku tak bisa mendustai hati. Sungguh aku masih mencintaimu, sama seperti sebelum kita kehilangan senja di bibir dermaga itu.

Aku memang dipertemukan denganmu pada ruang dan waktu yang lain. Dengan senyummu yang dulu, yang pernah terlukis indah di bibir ditemani lesung pipi. Apakah kamu tahu bahwa aku rindu dengan senyummu itu? Bertahun-tahun, aku menghitung perlu 15 tahun, bagiku untuk melihat senyum itu lagi. Sungguh! Itu waktu yang tidak sebentar. 

Pada senja terakhir itu, aku menggantungkan harapan pada langit. Akan kutunjuk satu bintang sebagai pengganti dirimu. Dan, tetaplah kau seperti bintang di langit. Kedipmu yang paripurna akan menemanimu hingga akhir malam. Jika tak sangguplah berkedip, titipkan kedipmu itu pada kunang-kunang agar bisa kuraih di taman kota ini. Biar ia menemaniku merayakan akhir senja sebelum malam benar-benar menelannya.

Sebenarnya aku ingin bercerita padamu. Tentang rindu yang tak sanggup lagi aku tahan. Berkali purnama sudah kau tak bersua denganku. Aku sudah seperti seekor pungguk yang terisak bila purnama tiba. Tetapi aku tak bisa mencurahkan semua cerita rindu itu. Kau tak di sini.

Bukan hanya rindu yang ingin aku kabarkan padamu. Masih ada lagi yang lain. Tentang kisah kita yang tak begitu panjang. Padahal sudah kita titipkan pada senja di dermaga itu, agar menjadi cerita cinta yang panjang. Lama aku menyimpan ini sejak kau memutuskan pergi. Menjemput mimpi yang kau tautkan pada langit.

Oh ya, aku juga mau ceritakan senja yang selalu datang tepat waktu di dermaga kayu. Tempat kita pertama kali bertemu. Tempat aku memilih untuk jatuh cinta padamu. Dermaga menjadi saksi bahwa dua hati yang berbeda telah dipersatukan. Senja yang menautkan rasa cintaku padamu. 

Tak mudah menyimpan kisah yang telah kita ciptakan bersama. Makanya aku rindu ingin bertemu agar bisa menumpahkan cerita itu. Aku ingin bersamamu menyusuri tapak-tapak dermaga ditingkahi bunyi anak-anak yang bermain di air kapuas. Mendengar suitan penambang sampan usai mengantar penumpang menyeberangi sungai. Godaan para awak kapal bandong usai memuat barang, kemudian bersiap mengarungi kapuas menuju uncak.

Aku pernah berencana mengajakmu naik kapal bandong itu. Setidaknya bisa kita lakukan untuk berbulan madu. Pasti menyenangkan berbulan madu dengan cara yang tak biasa. Melakukan ekspedisi kapuas menggunakan kapal bandong. Kita bisa menikmati kehidupan para awak bandong selama berhari-hari. Pada malam-malam yang gelap di tengah sungai. Tidak melewatkan barang satu pun senja setiap harinya.

Ah, itu hanya menjadi rencana yang mengawang. Kamu sudah terlanjut pergi dan berpijak pada dermaga lain. Sementara aku, masih di dermaga kayu ini. Sambil memendam kisah yang pernah kita tuliskan di bibir dermaga, yang kemudian terhapus oleh buih ombak kecil.

Itulah mengapa aku ingin kau ada di sini. Ingin menceritakan semua kegelisahanku sejak kau pergi bersama cita-cita. Tetapi, kau tak di sini. Aku percaya pada purnama bersama kedip bintang yang paripurna, kau akan kembali. Ya, seandainya kau ada di sini.

--Senja dan Cinta yang tak Pernah Tiba

LihatTutupKomentar
Cancel