Cinta yang Kutitipkan pada Senja tak Pernah Kembali

cinta dan senja, cinta yang kutitipkan, kutitipkan pada senja, tak pernah kembali, cinta pada senja, aku dan kamu,


Apa artinya sendiri jika kita sudah memutuskan untuk menjalin hubungan yang begitu lama? Sendiri yang menunggu membuat kita seperti berada di persimpangan: menunggu dalam ketidakpastian. Itulah yang kualami sekarang ini sejak kamu memilih pergi.

Kepergianmu sebenarnya bukan akhir dari hubungan cinta kita. Kau pergi dengan restuku juga. Kau pergi membawa cinta yang kita titipkan pada senja dengan warna jingga di ufuk. Kau berjanji pada debur kecil ombak di sungai, untuk kembali. Hanya untuk cinta.

Ketika kau benar-benar pergi, aku yang sendiri selalu menunggu. Kini sudah setahun. Sudah dua belas purnama. Tiga ratus enam puluh lima senja. Selalu datang pada saat terang akan berakhir. Begitu juga aku. Selalu datang ke dermaga ini untuk sekadar menikmati senja yang tenggelam.

Di dermaga ini, dalam kesendirian, kunikmati percikan air yang mulai tak jernih. Riang bocah berenang tanpa pelampung. Deru sampan bermotor yang mengangkut penumpang dari seberang. Sirene kapal motor memanggil penumpang bersiap berlayar menuju pulau seberang. Semua itu menjadi nyanyian yang mengalun manis dimainkan angin.

Jika sudah ke dermaga ini, aku teringat setahun yang lalu. Saat pertama kita bertemu pada senja yang ceria. Aku mengenang masa-masa indah bersamamu. Ketika sepasang mata kita beradu. Masa ketika kita saling salah tingkah. Lalu kamu tersenyum sambil menunduk. Aku masih bisa melihat lesung pipimu yang begitu menggoda. Aku merasakan ada keteduhan dari kerling matamu itu. Yah, setahun lalu itu, saat kali pertama aku jatuh cinta pada seseorang. Kala itu, cintku dan cintamu benar-benar menyatu.

Bayanganmu hadir bersama senja yang mulai berakhir. Kamu bersandar di bahu sambil kita menikmati surya tenggelam. Orang-orang yang lewat memberikan suitan panjang. Menggoda seolah-olahan tak ingin melihat kita bahagia. Kita tak peduli. Rambutmu yang tergerai, melambai ditiup angin. Warna jingga benar-benar menenggelamkan kita dalam kebahagiaan. Dalam temaram itu, kau bermunajat, “semoga cinta kita akan abadi.”

Hari ini, saat kunikmati akhir terang, kau tak ada di sini. Aku hanya sendiri. Menikmati segala hal yang pernah kita nikmati bersama. Aku nelangsa mengenang cinta kita yang pernah ada. Sedih tak berujung. Kesendirian yang benar-benar menyiksa. Apakah kau juga merasakan hal yang sama di sana? Aku berharap iya. Kita sudah berjanji menitipkan rindu pada senja dan menikmatinya bersama. Kamu bisa saja menikmatinya di tempatmu berada di sekarang. Aku juga menikmatinya di dermaga ini. Tapi senja yang kita nikmati adalah senja yang sama. Senja yang selalu membawa cinta yang kau kirim lewat senja lain di tempat berbeda. Aku menerima cinta itu lewat senja yang sederhana di dermaga ini.

Sendiri aku kembali ke dermaga ini. Setelah purnama kedua belas, asaku kau bisa hadir di sini. Kita nikmati senja bersama. Senja yang mempertemukan. Senja yang yang menyatukan cinta kita. Hingga mentari ditelan ufuk barat, aku ingin kau simpan cintaku yang terbenam bersama senja. []

--Cinta dan Senja yang tak Pernah Tiba
LihatTutupKomentar
Cancel