Kenangan Bukan Kisah Usang yang Harus Dibuang

kenangan, bukan, kisah, usang, yang, harus, dibuang, senja, cinta, kenangan bukan, bukan kisah, kisah usang, usang yang, yang harus, harus dibuang,


Untuk kamu, seseorang yang tidak pernah lagi aku lihat senyumnya. Kamu yang telah menjadi kenangan. Seseorang yang telah menjadi kisah usang, yang akan tetap kukenang. Bagiku, mengenangmu adalah mengenang semua peristiwa yang pernah kita lalui. Mengenangmu adalah menelusuri kembali jejak-jejak pada jalan kenangan menuju takdir yang selalu kita perjuangkan. Kenangan yang tak pernah usang, tak akan terbuang. Ia tersimpan rapi pada album cinta yang kita titipkan pada semesta. Dengan satu keyakinan, ada restu yang dititiskan pada derai hujan. Restu tak datang sendiri. Ia harus kita perjuangkan.

Waktu yang terus berjalan tak membuat kita lupa pada janji matahari. Ia akan kembali tiba pada saatnya mengganti gelap menjadi terang. Kita sadar, matahari tak pernah berubah. Dulu, sekarang, dan nanti. Begitu juga cinta yang kita rajut sekarang ini. Setidaknya bagiku, jika kamu tak sanggup merawatnya. Seperti matahari pagi, kehangatan cinta selalu membangunkan tidurku yang telat lelap tadi malam. Kutemui kau dalam bayang yang selalu melekat di setiap deru nafas ini. Pada deru ini, aku menitipkan pada semesta agar menyatukan deru nafasku dan nafasmu. Semoga, katamu satu ketika.

Semua kisah yang pernah kita lewati sudah kutulis pada lembaran-lembaran hati. Pada saatnya nanti, akan kupindahkan pada buku agar tetap tersimpan di perpustakaan hatimu, tentu juga hatiku. Sangat banyak kisah bahagia yang tertulis. Tidak semua. Ada juga kisah sedih, seperti hujan yang datang tanpa permisi. Ada juga cerita cemburu. Padahal alam tak mengajarkan itu kepada kita. Sejenak aku berhenti. Kutarik nafas dalam, lalu kuhembus. Dan, aku sadar sejatinya aku tak pantas untukmu. Itulah yang membuatmu memilih untuk pergi.

Kamu telah berlalu. Pergi dan keluar dari kehidupanku. Kau bilang padaku, “agar tak ada lagi perih yang pedih yang kau rasakan saat bersamaku.” Aku hanya terdiam. Semua peristiwa yang pernah ada bergemuruh dalam otakku. Kau benar-benar telah mengacak-acak hatiku. Kau tahu sebenarnya. Tapi kau berhenti untuk tahu. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa kau tak ingin menuliskan takdirmu bersamaku.

Dua belas purnama berlalu setelah kau pergi. Entah mengapa, tiba-tiba aku teringat ketika kali pertama berjumpa dirimu. Wajahmu yang cantik. Matamu yang teduh. Lesung pipimu yang bergelombang ketika tersenyum. Tanganmu yang lembut seperti sutra hasil sulaman bidadari surga. Aku bahkan tak sanggup menatap matamu yang teduh itu. Salah tingkah. Hanya bisa tersenyum walau kadang mencuri pandang agar aku bisa menikmati keindahan dari pesonamu. Kau telah menambatkan hatiku padamu, seperti senja yang selalu datang pada dermaga tempat kita bertemu.

Kamu telah membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah dan indah. Kehadiranmu menjadi pusat dari semua hal yang akan aku lakukan. Begitu banyak hal baik yang telah kita perbuat. Kau nyanyikan lagu-lagu cinta untukku. Kau ajak aku merayakan hari kasih sayang yang romantis, padahal kau tahu kalau aku bukanlah seseorang yang romantis. Kau adalah seseorang yang membuat segala sesuatu menjadi baik. Itulah yang membuatku tak henti-hentinya bermunajat kepada Jubata.

“Biarlah dia yang menjadi takdirku. Aku memohon restu-Mu, restu semesta. Biarlah takdirku dan takdirnya bertemu.”

Sekarang semuanya berubah. Kau sudah pergi dengan takdir yang telah kau tuliskan. Sementara aku masih di sini. Mengenang semua kisah cinta kita yang pernah ada. Sendiri melanjutkan hidup. Bukan untuk cinta yang lain. Aku percaya, kepergianmu tak harus membuatku nestapa. Kepergianmu semestinya memberiku pelajaran yang baru tentang hubungan sepasang kekasih. Kau memang bukan merpati, yang selalu tak ingkar janji. Namun, kepergianmu untuk takdir yang lain telah melukai hati yang lain.

Ya, kamu telah pergi untuk mengabaikan apa yang telah diperjuangkan. 

--Cinta dan Senja yang tak Pernah Tiba

LihatTutupKomentar
Cancel