Kamu itu Puisi yang Tak Bisa Kuterjemahkan dalam Segara Kata
Bagiku, kamu adalah puisi yang tak bisa kuterjemahkan dalam segara kata. Namamu menjadi prasasti yang tersimpan dalam hatiku. Hanya bisa kupahami dengan doa dan cinta. Dalam setiap desah nafasmu, aku melihat siluet surga yang diciptakan Tuhan hanya untukku.
Waktu yang berlabuh di dermaga kecil kota ini, pada senja yang lembab, menghadirkan aura keteduhan. Itu berkat kehadiranmu yang mengisi ruang logika dan akalku. Dermaga cinta yang diciptakan Tuhan sejak kamu ditakdirkan untuk memulai jalan hidup. Aku yang berdiri di ujung jalan itu berjuang agar bisa melanjutkan jalan hidup berikutnya. Tentu saja bersama kamu. Aku bermunajat kamulah takdirku. Jika pun tidak, kamulah yang bisa menenangkan aku ketika resah tiba.
Aku berharap ada siluet surga yang teduh pada wajahmu. Siluet yang selalu membawaku kembali kepadamu. Senja yang kutemui hari ini, bukanlah akhir perjalanan panjang atas takdir hidup kita. Masih banyak catatan pendek dari cerita panjang yang mesti kita lewati. Bersama hingga akhir malam.
Kamu itu puisi yang akan terus kubaca. Hingga usia tak lagi berdetak merupa jarum jam. Aku hanya ingin kamu saja. Kamu yang mengiring penjaga hati ketika kelak kita mengikat janji suci di altar Tuhan. Penjaga hati yang kau lahirkan dari rahim keagunganmu.
Ketika senja tiba, aku selalu ingin menemuimu. Aku tahu, senja itu ya kamu sendiri. Kamu juga tahu, aku selalu ingin satu siluet saja yang berbingkai hati dengan cahaya berpendar di kaki ufuk. Agar aku bisa melukiskannya pada kanvas jejak yang telah kita pesan. Sementara aku melukiskan jejak kau menari di bibir dermaga. Meliuk mengikuti irama kondan yang kau senandungkan sendiri. Kau lafalkan sebaris puisi tentang senja tentang jingga yang melebur di awan. Tentang matahari yang beranjak pulang.
Aku tak ingin siluet itu lamur. Entah karena jamur maupun umur. Aku hanya ingin siluet itu tetap menari walau letih lelah merisak kaki. Hingga tak lagi gemulai liukan tanganmu. Akan aku jaga siluet bersama sisa waktu. Walau aku tahu tak bisa kuhentikan waktu. Setidaknya aku akan bertahan hingga malam benar-benar menelannya. Dengan satu doa: besok aku menemuimu di dermaga ini lagi.