Menghangatkan Cinta dan Senja yang Sempat Basi
Anda penggemar novel sastra? Jika grade Anda sebagai penikmat sastra sudah di atas rata-rata, mungkin tema senja, cinta, atau sejenisnya, sudah ditinggalkan jauh di belakang. Atau barangkali tinggal sekadar pajangan di lemari buku. Sudah basi. Sastra yang membalut persoalan nonromantika: masalah sehari-hari seperti korupsi, intoleran, radikalisme, sampai pada keutuhan bangsa, barangkali lebih menarik.
Budi Miank, seorang wartawan, blogger, dan sastrawan yang telah memulai debutnya dengan antologi puisi "Ombon, Perempuan Pengembara", kini tampil di jagad sastra lokal dengan novel "Senja dan Cinta yang Tak Pernah Tiba".
Di jagad "pernovelan", penikmat sastra tentu tak asing dengan Seno Gumira Ajidarma. Tema senja menjadi bidang garapan di sejumlah cerita pendek dan novelnya. Ada banyak aspek menarik dari senja yang telah diolah Seno menjadi karya yang menjadikan namanya seakan tak terpisahkan dari senja itu sendiri.
Seno yang seorang wartawan, melukiskan senja yang maya, menjadi seakan laporan jurnalistik. Semua orang--yang senang membaca tentu saja--pasti bisa hanyut dengan olahan katanya.
Lalu, ada pula penyair senior Sapardi Djoko Damono. Sang profesor juga populer dengan satu puisinya berjudul "Aku Ingin", yang di antara lariknya berbunyi: aku ingin mencintaimu//dengan sederhana.
Kaum muda lebih mengenal musikalisasi puisinya Sapardi, barangkali. Sebab, kaum muda generasi gadget mana yang masih betah membolak-balik buku sastra, apalagi jika kemunculannya jauh dan sangat jauh sebelum kelahiran mereka?
Dua tokoh ini--dan masih ada sejumlah tokoh lain seperti Si Burung Merak WS Rendra--telah mewarnai sekaligus dikolaborasikan oleh Budi Miank dalam novelnya. Dia bercerita tentang senja dan aneka romatikanya. Dia juga berpuisi, yang seperti Sapardi, ingin mencintai seseorang dengan sederhana.
Baiklah, mungkin hal-hal romantisme yang rasa-rasanya sudah menjadi tema yang basi, kini coba dihangatkan kembali. Siapa lagi yang kini masih tertarik dengan tema-tema seperti ini, selain kaum muda yang sedang puber? Dan novel ini, jelas sekali, tidak spesifik ditujukan kepada kaum alay itu.
Jalinan bahasanya yang kuat, pilihan kata yang dipertautkan kokoh dengan kata lainnya, telah menunjukkan penulisnya memang seorang pegiat kata-kata sejak lama. Buka seseorang yang sedang coba-coba, sambil waswas menanti kritikan pembaca.
Maka mari bicara senja, mari bicara cinta. Mungkin, novelis kelahiran Angan Tembarang--sebuah desa yang menurut dia tak terjejak di google map karena tertutup daun pisang--sedang mengasah kepuitisannya melalui narasi.
Membaca novel ini, seakan kita disuguhkan sebuah prosa liris. Seperti berpuisi sejak halaman awal hingga akhir. Seperti menimang-nimang perasaan, dan mengaduk-aduk kenangan, sampai akhirnya dia menyadari, senja dan cinta itu memang tak pernah tiba.
Jangan lupakan, peluncuran buku antologi puisinya telah mendahului. Sehingga gaya-gaya yang puitis pun masih sangat kental dalam novel ini, seakan setiap cerita hanya cocok jika "didendangkan" dengan rangkaian kata-kata indah dan aneka kiasan.
Tak ada nama tokoh, pula tak ada nama tempat. Tak ada pula rentang waktu yang bisa diukur, atau tapak-tapak riil yang bisa dijejak. Latar cerita dibalut dengan surealisme. Budi Miank mengajak pembacanya bertamasya ke suatu arena tanpa nama, tanpa penunjuk waktu, pun tanpa sesiapa yang bisa ditanya. Mengembara dalam segara kata!
Cerita-cerita yang saling bertaut dalam novel setebal 142 halaman ini disuguhkan dalam chapter-chapter singkat, antara dua hingga empat halaman. Di beberapa bagian, ikut disertakan istilah lokal, seperti Jubata untuk merujuk pada Tuhan, dan kerigai merujuk pada keranjang khas masyarakat Dayak yang dijalin dari rotan atau bambu.
Simak paragraf berikut ini:
Senja memberiku arti yang berbeda pada setiap garis-garis yang dilukiskan langit. Senja seperti membuka tirai malam. Ia mempersiapkan ruang gelap, yang membuat bulan dan bintang begitu berbinar. Senja yang durasinya singkat, memberi nuansa lain dalam kehidupan semesta.
Semua orang tentu tahu seperti apa suana senja. Mungkin ada yang benar-benar memperhatikannya, ada pula yang cuek. Budi Miank menghadirkan "definisi" yang puitis dengan jalinan kata-kata pilihan yang kuat, sehingga orang menemukan perbendaharaan nuansa yang berbeda dari tuturan orang kebanyakan.
Lalu perhatikan pula paragraf ini:
Sebenarnya aku ingin bercerita padamu. Tentang rindu yang tak sanggup lagi aku tahan. Berkali purnama sudah kau tak bersua denganku. Aku sudah seperti seekor pungguk yang terisak bila purnama tiba. Tetapi aku tak bisa mencurahkan semua cerita rindu itu. Kau tak di sini.
Tumpahan perasaan yang tertahan, dan dia harus menelan kembali sesuatu yang tak bisa dikeluarkan. Begitu kira-kira nuansa yang ingin dia tampilkan pada deretan kalimat itu.
Apakah harus selalu ada simpul akhir yang harus Anda tambatkan dari setiap bacaan yang telah tuntas. Bisa iya, bisa juga tidak. Bisa pula ini hanya media bagi Anda untuk mengembara dalam segudang kata-kata puitis, menghanyutkan, menghangatkan, atau sekadar pengisi waktu luang.
Jika Anda akhirnya hanyut dalam buaian kata-kata, bahkan sampai penasaran siapa gerangan si anonim yang menjadi sentral novel ini, atau di mana setting peristiwanya, maka Budi Miank telah berhasil membuat Anda lebur dalam pengembaraan yan sama. Senja dan cinta, memang lautan yang tiada bertepi. (ditulis oleh Severianus Endi)
Pontianak, 16 Mei 2017