Sebuah Pertemuan pada Senja dengan Jingga di Ufuk Barat
Senja yang membawaku padamu. Pada waktunya yang singkat, senja melukiskan cerita yang panjang. Tentang kita dan cinta yang kita titipkan pada waktu dan ruang. Cinta dimulai ketika ekor mata kita bertemu. Aku bertemu denganmu bukanlah sesuatu yang direncanakan. Aku ke dermaga sore itu untuk menikmati segaris senja pada ufuk sebelum gelap menenggelamkan cahaya jingga yang merona di langit barat. Aku juga tak mengerti mengapa aku dan kamu sama-sama ada di tempat itu. Padahal itu hanya dermaga kayu. Yang jelas sangat tidak romantis untuk seseorang seperti kamu.
Pada sore itu, kita tidak saling sapa. Tapi aku diam-diam melirik satu senyum yang kau sunggingkan kala mata kita beradu. Ada sebuah lengkungan di pipimu. Ah, itukah yang disebut orang sebagai lesung pipi itu?
Aku tak ingin menerka-nerka apa dari makna senyummu itu. Aku hanya ingin menikmatinya dan membawanya pulang untuk kusimpan. Dengan satu harapan pada senja yang lain, kita akan bertemu lagi.
Tak ada cerita yang kita buat pada sore pertama pertemuan itu. Kita masing-masing pulang dengan rasa penasaran, mungkin hanya aku. Sementara kamu, aku tak tahu pasti. Aku hanya ingin kembali ke dermaga ini dengan harapan bisa bertemu kamu lagi.
Aku merasakan waktu berjalan begitu lambat. Aku ingin segera datang senja pada hari-hari berikutnya. Karena dengan senja yang durasinya sangat pendek itu, aku bisa menemukan seseorang yang aku yakini akan membawa cerita panjang dalam hidup.
Pada senja yang lain, aku kembali lagi ke dermaga ini. Angin membelai lembut helai rambutku. Kembali ekor mataku menangkap bayangmu. Oh, bukan. Itu bukan bayanganmu. Itu kamu. Ya, kamu. Kamu juga datang lagi di dermaga itu. Aku tak tahu, apakah kau datang untuk senja atau untukku, atau untuk kedua-duanya.
Saat mataku dan matamu beradu, aku tak berani memandangmu lebih lama. Tapi sekilas aku menemukan keteduhan di kerling matamu. Ada aura teduh yang menjalar pada tiap desiran aliran darah di tubuhku. Matamu begitu sempurna. Benar-benar mata seorang hawa yang diidamkan oleh seorang adam, seperti aku. Pada detik itu, aku seperti menemukan tulang rusukku yang hilang. Dan, itu kamu.
Kali ini, kita saling bersapa. Saling jabat tangan. Kita berbagi banyak kisah. Tentang senja-senja sebelumnya, yang kita nikmati sendiri-sendiri. Kita juga ceritakan tentang nelayan yang pulang berbaris membawa jala dan ikan-ikannya. Mereka gembira padahal tak banyak ikan yang diperoleh. Kita juga luruh dalam kegembiraan mereka.
Harus kukatakan padamu bahwa aku suka senja. Itulah salah satu alasan mengapa aku sering mendatangi dermaga kayu ini. Aku juga tak tahu alasan mengapa menyukai warna jingga yang berpijar di langit menjelang ufuk barat menelan matahari. Bagiku warna itu indah. Menyejukkan. Tentu saja mengingatkan pada peristiwa-peristiwa yang pernah kujalani bersama orang-orang baik.
Senja memberiku arti yang berbeda pada setiap garis-garis yang dilukiskan langit. Senja seperti membuka tirai malam. Ia mempersiapkan ruang gelap, yang membuat bulan dan bintang begitu berbinar. Senja yang durasinya singkat, memberi nuansa lain dalam kehidupan semesta.
Aku selalu ke dermaga kayu di kota ini jika ingin menikmati senja. Walau tak sesempurna senja di pantai dengan pasir yang berbisik dan kemilau debur ombak, yang terhempas di bibir pantai karena pantulan cahaya temaram jingga.
Bagiku senja di dermaga sangat indah. Sama indahnya dengan nelayan yang pulang menjala, dengan kerigai(1) yang memberikan beban pada pundaknya. Senja di dermaga selalu menghadirkan senyum-senyum anak-anak yang tak pernah lelah mandi di sungai. Terjun dari dermaga kayu tempat kapal-kapal kecil bersandar. Melompat. Naik. Melompat lagi. Lalu terjun lagi. Deburan melahirkan bunyi gemeriak. Mereka tertawa lepas.
Entah mengapa aku betah di dermaga bila senja tiba. Aku merasakan ketenangan. Beban seperti hilang. Plong. Enjoy. Inilah beberapa alasan mengapa aku tak pernah bosan mendatangi dermaga kayu untuk menikmati senja. Tentu ada alasan lain. Ya. Kamulah, alasan itu.
Selain ke dermaga menikmati senja, aku juga sering ke taman kota. Ada tulip yang selalu mengundang kakiku untuk melangkah ke tempat itu. Entahlah, aku juga tak bisa mengerti, mengapa tulip begitu menggoda. Berkali-kali aku melakukan pemenungan untuk mencari jawaban, tetapi tidak pernah ketemukan. Aku hanya luruh saja pada warnanya yang beragam.
Ia melahirkan keindahan pada setiap taman kota. Aku suka pada daunnya yang berlilin dengan bentuk sempit memanjang. Warnanya yang hijau bernuansa kebiru-biruan. Tetapi, sekali lagi, aku tak bisa mengerti mengapa tulipa membuatku luruh.
Tak perlu aku bergegas ke taman kota bila ingin melihat tulip pada senja yang kunikmati di dermaga kayu ini. Jarak dermaga dan taman kota tak sejauh jarak aku dan kamu. Aku hanya perlu lima menit untuk tiba di taman dari dermaga ini. Dermaga tempat kita pertama kali berjumpa. Dan, taman menjadi tempat kita sehari-hari melewati malam sambil menikmati kedip kunang-kunang.
Ya, kamu. Aku selalu ke tempat ini bila rindu. Dan, aku tak mengerti mengapa jika sudah ke tempat ini, rinduku padamu sirna. Karena itu, jika sedang rindu dekapan tanganmu yang kekar, aku selalu ke dermaga menikmati senja, kemudian ke taman ini untuk bermanja dengan kunang-kunang. Aku merasakan ada getaran yang membawa aromamu bersama angin berhembus perlahan.
“Aku rindu kamu, kekasihku.”