Menjadi Generasi Z yang Melek Literasi


Sabtu siang seusai menjemput anak sulung mengikuti bimbingan belajar di sekolah, anak bungsu saya mengajak ke Taman Alun Kapuas. Ia bilang, "kita baca buku dulu di situ. Habis itu kita makan siang. Barulah kita pulang." Kakaknya mengiyakan. Saya harus ikut. Saya kalah suara kalau tidak ikut. Dua lawan satu. Tidak ada hak veto. Maka, kami bertiga meluncur ke taman yang berada di tepian Sungai Kapuas itu.

Sudah tiga Sabtu, kami berkunjung ke rumah baca itu. Sabtu pertama, kami belum beruntung. Rumah baca itu belum buka. Mungkin karena baru diresmikan pada 28 Februari, jadi masih perlu persiapan, terutama jadwal petugas yang berjaga. Jadilah Sabtu itu, kami hanya berkeliling-keliling menikmati taman dan suara musik dari feri penyeberangan.

Sabtu kedua kami datang lagi. Kali ini, kami gembira. Dua bocah yang selalu menang voting untuk ke tempat itu sumringah. Keduanya langsung naik dan melepas alas kaki. Mereka masuk dan menuliskan nama di buku tamu. Mulailah memilih buku-buku yang hendak dibaca. Pedagi yang masih kelas satu sekolah dasar paling sibuk. Belum selesai buku satu dibaca, ia ambil lagi buku yang lain. Ah, ternyata dia hanya membaca sedikit saja. Selebihnya hanya melihat gambar-gambar.

Vanessa, kakaknya yang sudah kelas enam sekolah dasar lebih menikmati buku-buku yang dibacanya. Ia mengambil buku-buku cerita, juga buku-buku teknologi. Saya yang menjadi tukang ojek keduanya hanya melihat tingkah dan polah keduanya. Sesekali menjepret keduanya untuk dokumen pribadi. Era digital ini semakin mudah untuk membuat dokumentasi aktivitas pribadi.

Sabtu ketiga, kami datang lagi. Sama halnya dengan Sabtu kedua. Rumah baca sudah buka. Kali ini, pengunjung sudah ramai. Anak-anak, tentu saja orangtua yang mengantar dan menemaninya ikut serta di dalam rumah baca. Dua anak saya masuk dan mengisi daftar buku tamu. Lalu keduanya sibuk memilih buku yang hendak dibaca. Kali ini, Pedagi lebih tenang. Tidak sesibuk ketika datang pada Sabtu kedua. Keduanya benar-benar larut dalam buku-buku yang dibacanya. Saya lagi-lagi hanya mengamati sambil sesekali membaca buku juga.

Satu jam kemudian, kedua anak saya menyerah. "Capek. Lapar," kata Pedagi. Kulirik arloji. Sudah hampir pukul dua belas siang. Kami sepakat untuk menyudahi membaca buku. Kami beranjak meninggalkan rumah baca untuk mengisi perut agar cacing tak berteriak.

Akhir Februari 2017, Pontianak memiliki beberapa rumah baca, yakni Rumah Baca Taman Alun Kapuas, Rumah Baca Taman Akcaya, Rumah Baca Taman Digulis, dan  Digital Taman Polnep. Ada enam ribu buku yang disebar pada tiga rumah baca tersebut. Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando dan Wali Kota Pontianak Sutarmidji yang meresmikannya. Inilah warisan literasi Sutarmidji sebelum melepas jabatan wali kota pada 2018.

Semua berharap, agar warisan ini bisa meningkatkan minat baca kaum urban dan generasi Z, generasi yang hidup dengan segala kemudahan teknologi informasi. Sutarmidji telah memberikan ruang kepada anak-anak muda, generasi Z, untuk melek literasi.

"Sabtu depan, kita ke rumah baca lagi ya," kata Pedagi. (*)

Budi Miank | 180317

(Foto di atas dari dokumen pribadi)
LihatTutupKomentar