Bunga Rampai Lidya


Lidya Natalia Sartono menerbitkan buku yang ditulis atas kegelisahannya. Buku setebal 86 halaman yang memuat empat bab itu diluncurkan pada Sabtu, 4 Maret 2017 di Margasiswa PMKRI Pontianak. Lidya memberi judul "ˆBunga Rampai Membangun Indonesia" pada buku perdananya ini.

Peluncuran buku dikemas secara sederhana. Hadir beberapa kaum pergerakan, seperti GP Anshor Kalbar, aktivis PMKRI St. Thomas More, Pontianak, HMI Kalbar, PMII Kalbar, dan sejumlah para penggiat literasi lainnya. Acara sederhana ini berlangsung cukup menarik. Beberapa penanggap hadir, seperti Kristianus Atok dari Akademisi, Muhammad Nurdin dari GP Anshor Kalbar, Richardus Giring dari Perkumpulan Pancur Kasih, juga dari anggota pergerakan yang hadir.

Kata Lidya, buku tersebut sebagai sebuah peringatan bagi kaum pergerakan yang pemula. "Buku ini hanya catatan kecil saya tentang pergerakan di Indonesia," kata Lidya.

Ia mengingatkan bahwa pemuda sekarang ini memiliki tantangan kebangsaan yang kompleks. "Jangan tanya para elit yang sudah berada di zona nyaman, tentang apa yang mereka berikan untuk negara ini, tetapi bertanyalah pada diri kita sendiri, apakah kaum pergerakan masih mampu menjaga idealisme intelektual," ujarnya.

Pada bagian akhir buku itu, Lidya mengulas tentang perempuan Dayak. Identitas yang melekat pada dirinya. Ia mengungkapkan keraguannya ketika ingin menulis tentang perempuan Dayak. "Dayak itu suku bangsa yangbesar. Dayak bukan hanya satu suku semata," katanya.

Ia juga menggugat ketidaktertarikan perempuan (Dayak) dalam berpolitik. "Lucu jika perempuan malas terlibat dalam politik. Perempuan harus bergerak aktif dalam dunia politik. Tidak harus berpolitik praktis," katanya.

Bagi Lidya, perempuan menjadi puncak tertinggi dalam mengambil sebuah keputusan. "Budaya saya, perempuan selalu ditanya, apa ini boleh atau tidak? Perempuan menjadi puncak dalam mengambil sebuah keputusan," katanya.

Kristianus Atok, akademisi yang hadir dalam diskusi itu mengatakan bahwa buku ini sebenarnya ingin menggugat keindonesiaan masa kini. "Akhir-akhir ini ideologi Pancasila tidak menggema. Ketika kami mahasiswa ada penataran P4 saya tidak tahu apakah masih ada atau tidak?" katanya.

Penulis, kata Atok, juga mempertanyakan ulang keindonesiaan. "Solidaritas kebangsaan masih perlu dipertanyakan lagi. Banyak lembaga bernuansa kebangsaan dibentuk, tetapi itu terlalu materialistik orientasi. Hilang karakteristik militan dalam lembaga-lembaga tersebut," ujarnya.

Dialog sederhana itu berakhir dengan sederhana pula. Sesi paling favorit adalah berfoto, swafoto, hingga berburu tanda tangan penulis. Proficiat Lidya.

Budi Miank | 050317
LihatTutupKomentar