Dibeli Tidak untuk Dibaca
Hening. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat. Dua bohlam di ruang keluarga menyala. Terang. Ini malam Senin. Minggu malam. Saya meraih Nadira, buku Leila S. Chudori yang kubeli di Gramedia sepekan lalu. Melanjutkan membaca. Ah, baru halaman 26. Padahal Pulang dan Laut Bercerita juga belum selesai dibaca.
Saya tak pernah selesai membaca satu buku dalam satu kali buka. Selalu bersambung. Tetapi tidak kontinyu. Kapan saat mau membaca barulah membaca.
"Cara yang aneh," kata seorang teman.
Saya suka membeli buku-buku kalau itu cukup bagus. Tetapi buku-buku itu belum selesai dibaca. Hanya Saman-nya Ayu Utami yang benar-benar selesai. Itu pun karena dibawa pulang kampung. Kalian tahu kan kampungku? Sebuah tempat yang tak ada dalam peta. Jadi, tidak ada sinyal. Ada alasan untuk tidak menyentuh gadget. Nah, buku menjadi satu-satunya yang bisa dibaca. Kebetulan waktu itu membawa Saman, jadi ya buku itu yang selesai dibaca.
Buku lainnya? Nasibnya tak sebagus Saman. Belum selesai dibaca. Buku kurang menggoda. Gadget lebih menggoda. Akhirnya, kalau membaca buku pun mesti diselingi membuka gadget. Parah kan? Gadget sudah menjadi candu. Racun yang sudah merusak syaraf sensorik dan motorik.
Ada satu buku yang juga selesai. Filosofi Kopi-nya Dewi 'Dee' Lestari. Itu pun karena dibeli pada waktu belum begitu mengenal aplikasi pertemanan seperti whatapps. Buku Dee yang lain, Gelombang-nya Supernova, nasibnya masih menggantung. Belum selesai dibaca.
Justru buku-buku Gunawan Muhammad, seperti Catatan Pinggir 3, Tuhan dan Hal-hal yang tak Selesai, Setelah Revolusi tak Ada lagi, juga Gandari dan Sejumlah Sajak, yang selesai dibaca. Entah mengapa, buku-buku GM selalu kubaca habis. Padahal Catatan Pinggir 3 itu tebalnya hampir 500 halaman.
Begitulah.[]