Kakek Pastor; Saudara yang Pergi dengan Cara Sederhana

Kakek, Pastor, Saudara, yang, Pergi, dengan, Cara, Sederhana, Kakek Pastor, Saudara yang, Pergi dengan, Cara Sederhana, Saudara yang Pergi, yang pergi


SUATU hari di sebuah kelas jurnalistik untuk para imam muda kapusin, pada bulan November tahun 2013, di gedung paroki Gembala Baik, Pontianak. Di antara 15 imam kapusin muda yang belum 10 tahun memberi pelayanan imamat, ada satu yang sudah tidak muda lagi. Mattheus Sanding, kakek pastor, yang ditahbiskan menjadi imam ketika saya belum lahir.

Masa kecil Sanding tidak tahu soal Kapusin. Warga Indonesia keturunan Dayak itu juga tak tahu hidup membiara. Perjumpaannya dengan orang-orang berjubah coklat dan bermata biru di kampungnya membuatnya semakin tekun sekolah dan rajin ke gereja. Ia sering menjadi pelayan altar dan melewati waktu bermainnya di pastoran.

Usai Perang Dunia II, karya misi Ordinis Fratrum Minorum Capuccinorum (Ordo Saudara-saudara Dina Kapusin) di Borneo mengalami perkembangan. Jumlah missionaris asal Belanda bertambah, upaya perluasan mendirikan stasi-stasi baru pesat.

Sanggau menjadi daerah subur. Karya misi yang awalnya dipusatkan di Sanggau Kapuas dimekarkan menjadi stasi-stasi baru, yakni Jemongko, Pusat Damai, Batang Tarang, Jangkang, Sekadau, dan Pakit. Perkembangan Gereja tidak terbatas pada pembangunan secara fisik, tetapi juga secara rohani, khususnya orang Dayak.

Salah satunya Sanding. Lahir tahun 1935 di Nyandang, Rantau Parapat, Sanggau. Ia berasal dari keluarga petani. Masa kecilnya, tidak pernah bercita-cita menjadi seorang imam, tetapi semangat juang untuk sekolah tinggi. Pada usia sepuluh tahun, Sanding meninggalkan kampungnya menuju Sanggau melanjutkan Sekolah Rakyat.

Sanding menghuni asrama Persatuan Dayak dengan pembinanya Kaping (alm). SR ditangani langsung oleh para misionaris. Setelah menamatkan SR, ia melanjutkan sekolah ke Seminari Menengah Nyarumkop.

“Bagaikan emas yang dimurnikan dalam api,” kata Sanding melukiskan perjalanan hidupnya yang jauh dari orangtua.

Kualitas kematangan pribadi yang dimilikinya membuat pembina di Seminari Menengah Nyarumkop menyayanginya. Tidak heran, saat ia menyampaikan niatnya menjadi biarawan Kapusin langsung mendapat afirmasi dari P. Honorius v.d Heijde OFM Cap, pemimpin umum Seminari Menengah Nyarumkop.

Saat masuk biara Novisiat Kapusin St. Fidelis Parapat, Sumatra Utara tahun 1959, putera sulung dari lima bersaudara ini berangkat seorang diri dengan menumpang kapal ikan sampai pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perjalanan melalui jalur sungai dari Pontianak menuju Jakarta ditempuh selama tiga hari tiga malam. Perjalanan yang cukup melelahkan, namun karena memiliki tekad dan semangat maju terus, pantang mundur.

Semangat itulah yang memacu Sanding tetap kuat dan segar sampai di tanah Batak. Ia menjadi frater (sebutan bagi calon imam) novis selama setahun bersama dengan lima temannya dari suku Batak di bawah asuhan Magister Novis, P. Marianus v.d. Acker, (van Herpen) OFM Cap yang sekaligus Superior Regularis.

Sanding menyebut novisiat sebagai masa yang paling indah karena bisa hidup bersama sebagai saudara, baik dengan teman maupun dengan orang lain. Di biara novisiat, ia memperoleh pendidikan yang sungguh-sungguh, lengkap dan sesuai dengan kepentingan dan keadaan tempat dan waktu, menyangkut segi insani dan rohani. Segi-segi utama hidup religius, yakni iman, doa, samadi, hidup persaudaraan, kontak dengan orang miskin dan kerja dilakoninya dengan baik.

Di kalangan para pastor pembina dan saudara-saudara sepanggilannya, Sanding dikenal sebagai saudara yang penghibur di kala sedih, penyemangat kala putus asa, pendamai kala ada perselisihan.

“Sejak kecil, di tengah-tengah keluarga dan sahabat-sahabatnya, ia sudah dikenal sebagai pribadi yang humoris, ceria, dan optimis,” ungkap Pastor Paduanus Aga, OFM Cap, adik kandung Sanding.

Sanding tahu hidup membiara tak gampang, tapi ia mampu menjalaninya. Pada 5 Januari 1960, dua orang frater asal Batak, yaitu Fr. Yohanes Sihotang dari Palipi dan Fr. Silvester Manalu dari Aek Raja tidak meneruskan panggilannya dan meninggalkan novisiat. Keprihatinan dan kesedihan semakin lengkap dirasakan oleh frater novis dengan peristiwa meninggalnya Fr. Apollinaris Sinaga dari Palipi pada 9 Juli 1960.

Dari sisa-sisa ‘kawanan kecil’ (pusillus grex) yang ada dan masih bertahan. Wartawan Kristus, julukan untuk Sanding karena pengalamannya mengelola Batakki (Berita Antar Kampung Kita), majalah Warta Paroki Mempawah Hulu, Menjalin ini merasa yakin bahwa Tuhan tetap melakukan yang terbaik bagi hidup manusia, tak terkecuali untuk dirinya.

Berkat dan rahmat Allah yang senantiasa bekerja atasnya telah menuntunnya melangkah maju, membuka hati, merentang tangan, dan sujud menyembah untuk menerima Kaul Perdana pada 2 Agustus 1960.

Pada tahun yang sama, Sanding mengawali studi lanjut di Seminari Tinggi Filsafat dan Teologi di Parapat, Sumatra Utara. Saat studi masih berlangsung, dua saudara seangkatannya meninggalkan panggilan dan bangku kuliah. Sanding kemudian berjuang sendiri di bawah tiga belas dosen yang menjadi tenaga pengajar saat itu.

Ia yakin bahwa yang menabur dengan bercucuran air mata, akan menuai dengan sorak-sorai. Demikian Sabda Allah ini selalu mewarnai perjuangan hidupnya. Sanding memang sosok yang pantang menyerah dan selalu mengandalkan Allah. Ia yakin bahwa Allah selalu melapangkan jalan baginya melalui kehadiran orang-orang yang diutus-Nya.

Seiring dengan perjalanan studinya di tingkat akhir, seminaris teologan tunggal ini memantapkan tekadnya untuk maju terus pantang mundur mengikrarkan kaul kekal pada 2 Agustus 1963 dihadapan P. Gonzalvus Snijders OFM Cap.

Tiga tahun setelah berkaul kekal dan menyelesaikan studinya, hari berbahagia pun tiba. Pada 5 Maret 1966 menjadi hari sukacita, bukan hanya bagi Ordo Kapusin di Indonesia, melainkan juga bagi Gereja Katolik di Keuskupan Agung Pontianak.

Pada hari itu terukir sejarah manis. Sanding telah menjadi imam Kapusin pertama Indonesia dari suku Dayak. Ia menerima tahbisan imamat dari tangan Mgr. Herculanus v.d Burgt OFM Cap. Kehadirannya dalam Ordo Kapusin serentak memperkuat barisan para misionaris Belanda yang pada masa itu sedang menjalani karya misi di belantara Borneo.

Kakek Pastor, sapaan akrab umat kepada Sanding dikenal sebagai imam lintas generasi. Ia bisa bergaul dan masuk di semua kalangan umat tanpa ada pembedaan sedikit pun. Sanding riang hati, suka berdoa, cinta persaudaraan, ramah, mudah diajak omong, mau mendengarkan orang lain.

Sanding juga memiliki daya tahan yang tinggi dalam menghadapi saat-saat sulit, seperti ketika sakit atau karena beban pekerjaan yang banyak. Daya tahan yang demikian itu membuat beliau tidak mengeluh. Daya tahan yang demikian itu nampaknya terbentuk sebagai hasil dari disiplin diri yang tinggi yang sudah dijalani selama bertahun-tahun sejak masa pendidikan sampai sekarang ini di usianya yang tidak lagi muda

Sanding dikenal sebagai imam yang rendah hati. Kala menjadi imam muda di Paroki Singkawang pada 1966, ia rajin mengayuh sepeda ontel mengunjungi stasi-stasi dan rumah umat. Aktivitas ini membuatnya sangat dekat dengan umat. Berikut catatan perjalanan imamat Mattheus Sanding sebagai pastor kapusin Dayak pertama di Kalbar.

Kakek Pastor memanfaatkan turne bersepedanya untuk bertanya kepada umat mengenai paroki dan keadaan umat sendiri. Baginya, kunjungan ke stasi-stasi dan ke rumah-rumah umat menyenangkan. Jarak tempuh yang jauh dan sulit tidak menjadi kendala pelayanan. Itu semua dilakoni dengan sukacita bersama sepeda ontel menelusuri jalan-jalan terjal Allah.

Di belakang sepedanya selalu ada kotak obat-obatan, buku-buku, perlengkapan dan peralatan misa. Itu dilakukan demi pelayanan dan pengabdian yang tinggi kepada Allah dan sesama.

Pada masa-masa awal menjadi pastor, ia sungguh tertantang menjalankan tugas-tugas pastoral di paroki. Masih banyak umat yang memerlukan pelayanan pastoral, seperti iman yang belum mengakar, keadaan ekonomi yang sulit, situasi masyarakat yang tidak kondusif karena masalah politik saat itu.

Di tengah keadaan yang terbatas dan sulit itu, Kakek Pastor justru berjuang dan tekun melayani umat secara pastoral menyeluruh. Ia berupaya meningkatkan penghayatan hidup beriman, memajukan keadaan sosial dan ekonomi, memperhatikan kesehatan dengan cara membawa obat-obatan saat kerasulan ke kampung.

Kakek Pastor mengelola sekolah-sekolah yang sudah ada seperti Sekolah Pertukangan di Singkawang dan Seminari Menengah di Nyarumkop. Ia menjadi pekerja solidaritas dengan membantu para pengungsi, khususnya orang-orang Tionghoa di Singkawang yang menjadi korban dari situasi politik pada saat itu. Sanding menghidupi semangat kegembalaannya dan cinta kasih kepada semua orang. Ia memiliki sifat yang sangat disenangi banyak orang.

Wartawan Kristus ini sungguh menyadari panggilan Allah dalam dirinya. Ia diilhami oleh hidup musafir dan perantau, yang tidak mau melekat pada segala jenis hak atas jabatan, dan hak atas tempat mana pun untuk mewartakan Kerajaan Allah. Sikap ini searah dengan apa yang dikatakan Yesus, bahwa “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi anak manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalanya.”

Atas dasar itu, Sanding riang hati menerima setiap keputusan tatkala pimpinan memintanya pindah dari tempat tugas yang lama ke tempat tugas yang baru.

Hingga saat ini sudah enam tempat yang menjadi komunitas tempat tinggalnya, yakni Paroki Singkawang (1966-1969), Paroki Pahauman (1969-1975), Paroki Batang Tarang (1975-1979), Paroki Tiang Tanjung (1979-1981), Paroki Menjalin (1981-2010), dan Biara Propinsialat Kapusin Pontianak (2010 hingga sekarang) tidak termasuk pelayanan kategorial membantu paroki-paroki lain.

Perjalanan waktu selama empat puluh lima tahun menjadi imam bukanlah waktu yang pendek untuk dikenang. Dalam waktu yang demikian panjang itu telah terangkum perbagai peristiwa kehidupan, baik yang sukses maupun yang kurang sukses, baik yang menyenangkan, menggembirakan, menguatkan maupun juga hal-hal yang mengecewakan dan hal-hal yang sepatutnya dibuat tetapi belum dapat dibuat.

Dalam rentang waktu itu juga telah terjalin sekian banyak relasi dengan orang-orang lain yang ingin membantu dalam banyak hal sehingga kehidupan imamat menjadi bermakna dan berbuah bagi banyak orang. Demikian perjalan imamat yang dialami oleh Sanding, seorang imam Kapusin yang mendasari devosinya kepada Bunda Maria, Bunda Penolong Abadi ini.

Pastor yang sudah banyak makan asam dan garam ini tetap bersemangat dan setia melayani umat. Pada usianya 76 tahun, Desember ini, kerasulan ke kampung-kampung membantu para pastor di paroki melayani umatnya. Ia mengajak semua pastor, para biarawan dan biarawati sebagai pelayan umat untuk tetap menabur benih kasih dan mewartakan damai sejahtera kepada seluruh umat.

“Kita harus sekolah agar tidak bodoh, dan bukan sekolah untuk membodohi orang. Sebab, kita adalah anak-anak terang, dan bukan anak-anak gelap,” kata Kakek Pastor.

Pada 1 Februari 2017, Kakek Pastor pergi untuk selamanya. Ia ditemukan telah meninggal dunia pada pukul 16.00 saat jam tidur siang. Kakek Pastor tutup usia 81 tahun. (*)

LihatTutupKomentar