Setengah Jam di Udara

Setengah, Jam,di, Udara, Setengah Jam, di Udara,Setengah Jam di, Jam di Udara,Setengah Jam di Udara

Suatu sore di Bandara Rahadi Oesman. Trigana Air dengan nomor penerbangan 713 tujuan Pontianak-Ketapang baru saja mendarat. Saya termasuk satu penumpang di pesawat ATR 700 itu. Dari Bandara Supadio, Pontianak, kami terbang sekitar pukul 16.30. Telat setengah jam dari jadwal yang tertera dalam tiket. Pihak maskapai beralasan pesawat telat tiba dari kota tujuan sebelumnya.

Pesawat berbadan kecil itu memiliki dua jalur kursi. Lajur sebelah kiri memiliki dua kursi yang berderet dari depan hingga belakang. Begitu juga lajur sebelah kanan. Saya duduk di kursi D11. Di sebelah saya, duduk seorang perempuan muda yang masih duduk di kelas satu SMA. Ia berasal dari Ketapang dan bersekolah di Pontianak.

“Pulang untuk urus legalisir ijazah. Minggu depan balik lagi ke Pontianak. Karena sudah libur seusai ulangan umum, jadi ada kesempatan untuk pulang,” katanya saat saya menanyakan kepulangannya. Perempuan muda itu mengaku bernama Hani. Ia sekolah di SMA Gembala Baik, Pontianak. Dia baru kelas satu. Baru enam bulan juga tinggal di Pontianak.

Hanya perlu 35 menit saja waktu tempuh Pontianak – Ketapang. “lebih lama menunggu terbang, dibandingkan waktu terbangnya,” kata Endi, teman seperjalanan dengan pesawat yang sama dengan saya. Benar juga. Saya dari rumah ke Bandara Supadio berangkat pukul 14.30. Sementara Endi sudah tiba duluan. Dia sudah check in. Sambil menunggu saya, Endi duduk minum kopi di cafe bandara.

Begitu tiba di Supadio, saya langsung check in. Tidak banyak antrean di loket jaga. Hanya ada beberapa orang saja. Hani ada di depan saya saat check in. Usai check in, saya kembali ke luar berniat menemui Endi di cafe.  Tapi rupanya dia sudah menamatkan episode segelas kopinya. Kami bertemu di depan pintu masuk. Endi lalu mengeluarkan telepon seluler dan bersiap-siap menjepret. Inilah episode narsis. Di depan, pohon natal dari plastik yang dipasang di bandara, kami kemudian berfoto ria.

“Pay mana?” tanya Endi.

Pay yang dimaksud Endi bernama lengkap Pay Jarot Sujarwo. Ia travel writer. Senang berkelana dengan peralatan seadanya. Pada setiap persinggahan, dia selalu menuangkan cerita-cerita berkelananya dalam bentuk tulisan. Sudah ada 13 buku yang ditulisnya. Ada sembilan buku yang ditulisnya sendiri. Buku pertamanya berjudul Kumpulan Puisi yang ditulis tahun 2005.

“Nah, itu dia.”

Saya menunjuk Pay yang berjalan menunduk dengan ransel yang digantung pada sebelah lengannya. Pria jangkung dengan kacamata sambil memainkan ponselnya. Aku dan Endi menyapanya. Ngobrol sejenak. Pay kemudian pamit untuk check in.

Sudah pukul 15.30 saat kami masuk ke ruang tunggu. Jadwal yang kami terima, setengah jam lagi akan berangkat. Di ruang tunggu, sudah banyak orang menunggu. Tiap orang menunggu jadwal berangkat dengan rute masing-masing. Dari pengeras suara, disampaikan permohonan maaf bahwa pesawat mengalami keterlambatan selama 15 menit. Orang-rang tetap setia menunggu. “Inilah menunggu yang tidak membosankan,” kata seorang penumpang yang duduk berjarak dua kursi dari tempat saya. Kami tidak saling berkenalan.

Pukul 17.05 menit, kami mendarat di Rahadi Oesman. Ini kali kedua saya mendarat di bandara kebanggaan masyarakat Ketapang itu. Kali pertama, saya mendarat pada tahun 2007 saat mengikuti perjalanan politik Akil Mochtar menjelang pemilihan Gubernur Kalimantan Barat. Akil gagal bersaing merebut simpati rakyat dibandingkan Cornelis. Cornelis terpilih sebagai gubernur pada periode itu. Kemudian, terpilih lagi pada periode berikutnya. Cornelis akan mengakhiri masa jabatannya pada 2018.

Kali ini, saya tidak menginap di Ketapang. Bersama Endi dan Pay, saya akan melanjutkan perjalanan ke Sukadana, sebuah kota kecil di Kayong Utara. Kami diundang United States Agency for International Development – Indonesia Forest and Climate Support (USAID IFACS) menjadi pemateri dan fasilitator pada kegiatan Community Journalist Workshop; Forum Komunitas Rumah Ide Kabupaten Kayong Utara selama dua hari sejak 14-15 Desember 2013. Kegiatan tulis menulis ini diikuti 20 peserta yang berasal dari pelajar, aktivis nonpemerintah, dan beberapa elemen lainnya. Saya diundang sebagai fasilitator.

Dari Rahadi Oesman, kami dijemput staf USAID IFACS menggunakan kendaraan roda empat. Lelaki yang biasa disapa Kadek itu menawarkan, “Mau langsung ke Sukadana atau bagaimana?”

Pay menawarkan ada rehat sejenak. Perlu juga menikmati kopi di Ketapang agar tubuh tidak begitu letih. Kami pun sepakat. Saya lalu menghubungi seorang teman yang berkarya di Flora Fauna Indonesia. Namanya Lorens. Kadek memacu kendaraan menuju markas FFI di Jalan KH Mansyur. Dari markas FFI, kami kemudian menuju Champ Cafe menikmati kopi vietnam. Baru kali ini saya tahu kalau ada kopi bernama vietnam. Agak sepok (kolot), kata seorang teman. Usai minum kopi, kami mencari makan malam. Perut sudah lapar. Waktu juga sudah pukul 19.30. Waktu makan malam saya sudah lewat jadwal. Hah!

Pukul 20.00, Kadek membawa kami ke arah utara Ketapang. “Sekitar satu jam lebih sudah sampai nanti di Sukadana,” kata Kadek. Sukadana adalah ibu kota Kabupaten Kayong Utara, sebuah kabupaten hasil pemekaran dari Ketapang. Di Sukadana, kami sudah ditunggu Alex Mering di Hotel Mahkota Kayong, hotel milik pengusaha Oesman Sapta Odang.

Sepanjang perjalanan menuju Sukadana, Kadek yang orang Bali itu, memberitahu kampung-kampung yang dilalui. Tak  ada penerangan yang memadai sepanjang jalan yang kami lewati. Lampu-lampu jalan tidak terpasang. Penerangan di jalan hanya terpancar dari lampu kendaraan yang melintasinya. Selebihnya gelap.

Tak ada penerangan di jalan, termasuk jembatan justru dimanfaatkan oleh sebagian kaum muda mudi. Di beberapa jembatan, tampak deretan sepeda motor terparkir tak rapi sepanjang sisi kiri dan kanan jembatan. Orang-orang muda duduk di samping sepeda motor. Ada laki-laki. Ada juga perempuan. Mereka memanfaatkan jembatan sebagai lokasi untuk bercengkerama. Tetapi, tidak semua mereka yang singgah di jembatan itu berpasang-pasangan. Ada juga para pelintas yang membawa barang. Mereka rehat sejenak karena menempuh perjalanan yang cukup jauh. Namun, beberapa orang memanfaatkan jembatan untuk memadu kasih. Ada yang bilang lokasi itu sebagai jembatan jodoh. Mungkin saja benar karena ada beberapa orang yang kemudian menikah setelah bertemu di jembatan itu. Mungkin, ya. (*)

Sukadana, 14 Desember 2013
LihatTutupKomentar