Di Balik Buku Antologi Puisi Ombon; Perempuan Pengembara

Buku, Antologi, Puisi, Ombon, Perempuan, Pengembara, Buku antologi, puisi ombon, perempuan pengembara, buku antologi puisi, antologi puisi ombon,

Akhirnya aku punya buku yang ditulis sendiri. Walau segara kata dalam sajak-sajak ini tak puitis, buku ini melecut semangat untuk melahirkan buku-buku berikutnya. Buku ini lahir dari sebuah perjalanan panjang, seperti riwayat panjang perempuan disampul mukanya. Perempuan yang tak lain ibuku, yang sejak Mei 2011, telah bermigrasi ke dimensi lain dari kehidupan ini. Ini menjadi perjalanan pengembaraannya, yang sudah dilakukannya sejak ia masih belia. Ombon, perempuan yang pengembaraannya, dihentikan oleh sang pemilik hidup.

Saya gembira karena buku ini di-endorsement oleh orang-orang hebat. Ada Masri Sareb Putra, yang telah menulis banyak buku. Ia juga yang terus mendorong saya agar melahirkan sebuah buku. "Ayo, kamu masih muda. Tulislah buku. Kapan lagi? Segeralah mulai," begitu dia mendorong agar menulis. Padahal, kami belum bertemu. Kami hanya berkomunikasi lewat fasilitas chat di laman fesbuk. Inilah fungsi luar biasa dari media sosial yang membuat saya bisa melahirkan buku. Saya baru benar-benar bertemu Masri setelah buku ini selesai dicetak. Dia juga yang membawakan cetakan pertama ini langsung dari Jakarta. Kami diskusi banyak hal soal self publishing.

Lalu ada juga Nano Basuki, seorang guru yang juga sastrawan. Ia juga mendorong agar menerbitkan puisi-puisi yang sudah ditulis. Saya sengaja meminta dia untuk memberikan endorsement. Beruntunglah saya, dia sangat mau untuk meluangkan waktunya membaca beberapa puisi yang dikirim kepadanya. Saya sadar itu menyita banyak waktunya. Tapi tak apalah, kapan lagi ya mencuri waktu pak guru yang satu ini. Ini berkah.

Hal yang paling menggembirakan adalah kritikus sastra dan sastrawan senior juga bersedia memberikan endorsement pada buku ini. Dia adalah Korrie Layun Rampan. Dia sudah punya nama dalam dunia sastra Indonesia. Sebagian orang menyebutnya sebagai HB Jassin kecil. Proses ini saya minta tolong Masri. Dia bersedia. Ini menggembirakan. Cukup lama saya menunggu hadiah dari Korrie itu. Di tengah tubuhnya yang membutuhkan perawatan ekstra dari tim medis, Korrie masih mau memberikan hadiah endorsement kepada saya.

"Puisi-puisi itu saya bacakan di depan dia. Lalu dia ngomong. Saya menulis dan merekamnya. Nah, jadilah endorsement itu," kata Masri menceritakan proses itu kepada saya.

Dan, endorsement itu dikirim via fasilitas chat laman fesbuk. Tentu saja saya gembira menerimanya. Orang sehebat Korrie Layun Rampan mau memberikan endorsement pada buku yang ditulis seorang pemula seperti saya. Hanya saja, kegembiraan itu berbanding terbalik dengan kondisi Korrie, yang menurut Masri, semakin kurang membaik. Hingga akhirnya pertengahan November kemarin, Korrie, sang Api Awan dan Asap itu harus berpulang. Ia melanjutkan perziarahannya ke dimensi lain. Ia berangkat dengan warisan sastra yang luar biasa. Buku yang saya tulis ini, menjadi buku terakhir yang di-endorsement oleh Korrie sebelum ajal menjemputnya.

Satu hal lagi. Saya bersyukur karena editor buku ini legowo didesak-desak agar segera menyelesaikan proses editingnya. Dia adalah Alex Mering. Nama sastranya Wisnu Pamungkas. Di sela-sela kesibukannya, dia saya paksa untuk membaca lima puluh lebih puisi untuk kemudian diperiksa kata demi kata, huruf demi huruf, diksi demi diksi. Lalu, saya paksa juga untuk memberikan catatan untuk mengantar orang memasukinya lebih dalam lagi. Lahirlah tulisanya yang diberinya judul, "Mendirikan Pedagi Lewat Puisi." Sebagai orang yang pernah bekerja di dunia jurnalistik, yang wajib menulis secara objektif, tentu tidak mudah baginya untuk menulis secara subyektif. "Ternyata tak mudah ya menulis subyektif," katanya.

Saya bersyukur punya teman bernama Budi Kurniawan, teman kantor. Kami memanggilnya Budi Kecik. Entahlah bagaimana dan mengapa ia dipanggil begitu, saya pun tak tahu juga. Mungkin untuk membedakan karena terlalu banyak orang bernama Budi di kantor. Budi-lah yang merancang sampul buku ini. Entah berapa kali, kami harus bolak balik mengubah dan memperbaiki hal-hal yang remeh temeh agar sampulnya menarik dan pesan yang ada dalam buku bisa terwakili. Dengan imajinasinya, pesan pengembaraan yang saya titipkan lewat kata, mampu diterjemahkan dalam guratan-guratan sampul itu. Kata Andreas Harsono dalam laman fesbuk saya, "Ikut senang lihat covernya! Warna dan komposisinya bagus." Saya kenal Andreas Harsono karena pernah ikut kelas jurnalisme sastrawi yang diampunya.

Agar buku ini ada warna lainnya. Saya tambahkan gambar-gambar hasil coretan Vanessa, anak tertua saya. Coretan-coretan itu dibuatnya ketika masih berusia tiga tahun. Tahun-tahun pertama masuk taman bermain. Coretan-coretan, yang kata saya tak tentu rudu, itu sengaja tidak saya buang. Ketika Vanessa sudah kelas satu sekolah dasar, coretan-coretan itu saya scan di kantor dan tersimpan dalam bentuk digital. Nah, ketika buku ini hendak diterbitkan, saya teringat dengan coretan-coretan itu. Karenanya, saya masukan beberapa untuk menghiasi laman-laman kosong. Coretan-coretan itu menjadi pembeda karena dibuat oleh anak usia belia. Saat buku ini diterbitkan, Vanessa sudah duduk di kelas lima sekolah dasar.

Akhirnya buku ini selesai juga. (*)

Pontianak, 9 Desember 2015
LihatTutupKomentar