Buku dari Bruder Kris
Satu malam usai libur lebaran pada pertengahan Juli tahun ini. Seusai merangkai kata menjadi kalimat, memacu sepeda motor matik menuju arah utara kota ini. Jarum pengatur waktu berada pada angka enam lewat setengah. Malam mulai menggelapkan kota. Lampu jalan, tumben nih listrik menyala, menghadirkan cahaya pendar menimpa tubuh pengendara.
Tujuan malam itu ke sarang keto, tempat Bruder Kris berdiam. Lokasinya di Jalan Selat Panjang. Saya kurang informasi soal tempat pastinya. Seorang kawan memberi tahu kalau jalan tersebut ke arah Siantan setelah stasiun pengisian minyak. Tapi informasi itu keliru. Hingga dekat pasar Siantan, tak juga ditemukan Jalan Selat Panjang tadi.
Saya putar balik lagi. Berjalan perlahan sambil toleh kiri kanan, siapa tahu ada plang nama bertulis Selat Panjang, tapi juga ditemukan. Singgah sejenak pada satu bengkel motor yang masih buka malam itu.
"Oh, lurus saja. Lampu merah di depan, nanti lurus saja ya," kata seorang lelaki yang menunggu sepeda motornya selesai diperbaiki.
"Arah Parit Nanas, ya? " saya mencoba meyakinkan lelaki tersebut.
"Iya," jawabnya sambil menggangguk.
Usai berterima kasih, saya meluncur ke arah yang disebutkan tadi. Parit Nanas dulunya pernah terkenal. Di tempat itu, ada lokalisasi. Namun, era 90-an lokasi itu ditutup.
Setelah menyusuri Selat Panjang, saya belum juga menemukan sarang keto. Coba telepon Bruder Kris, tapi suara yang keluar dari seluler tak begitu jelas. Lewat pesan whatapps, dia memberi petunjuk tempat itu.
"Lima ratus meter lagi. Sebelah kiri jalan. Di depan banyak pohon, " begitu pesan singkat yang dikirimnya.
Saya ikuti petunjuk itu. Berjalan perlahan melirik kiri, khawatir terlewatkan. Benar saja. Saya menemukan rumah yang di halamannya banyak pohon. Berbeda dengan rumah kebanyakan di ruas jalan itu. Ada kesejukan menyeruak. Tapi, kata Bruder Kris, "tidak juga. Masih panas juga."
Rumah itu sepi. Hanya dua orang: Bruder Kris dan satu mahasiswa, Doni. Ia yang tinggal sekaligus mengurus rumah besar itu. Saya menjadi tamu pertama malam itu. Dua teman lainnya masih on the way. Sambil menunggu, saya menikmati kopi yang diseduh tuan rumah. Kami ngobrol ringan. Bruder Kris kemudian mengajak makan malam. Lauknya ular sawa yang menyerahkan nyawa malam sebelumnya.
Kami kemudian ngobrol soal rencana menerbitkan buku antologi puisi. Bruder Kris berencana buku itu sudah terbit bertepatan dengan ulang tahun Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda pada September tahun ini. Saya diminta untuk membaca dan mengoreksinya. Saya coba dengan apa yang saya miliki.
Di sela-sela obrolan, Bruder Kris memberi saya tiga buku. Satu buku ditulis olehnya, dua lagi buku alih bahasa dari bahasa Belanda. Tiga buku yang sangat bermanfaat. Walau belum membaca semuanya, saya yakin buku itu memberikan tambahan wawasan. Saya yakin itu. Maka wajar saja orang bilang kalau buku itu jendela dunia.
Kami ngobrol hingga larut. Dua teman yang kami tunggu juga ikut hingga larut. Dini hari, kami bubar. Saya pulang dengan gembira. Oleh-oleh tiga buku dan 142 puisi yang harus dibaca.
Pontianak, 15 Juli 2016