Aku Ingin Cinta yang Sederhana
Pada malam yang sembab, aku bermunajat pada pemilik hidup agar merestui cinta kita. Seperti juga puisi, aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana, bahkan sangat sederhana Bukan kamu yang pertama jatuh cinta. Senja membuktikan itu. Senja yang menjadi saksi kalau kamu bukan yang pertama jatuh cinta. Akulah yang pertama jatuh cinta padamu. Aku jatuh cinta ketika pertama kali melihatmu menikmati senja di dermaga kayu kota ini. Aku jatuh cinta ketika melihat senyummu dengan dua lesung pipi yang menggoda itu.
Aku kerap diam-diam mencuri pandang padamu. Kadang bertingkah agar bisa menarik perhatianmu. Tetapi usahaku gagal waktu itu. Kamu tak melihat apa yang kulakukan untuk menarik perhatianmu. Melirik pun tidak. Aku kecewa saat itu. Kamu mengabaikan usaha yang telah kulakukan. Sungguh kamu terlalu.
Ketika pulang, pada malam yang sembab, aku bermunajat kepada pemilik hidup, agar jatuh cintaku padamu direstui. Kelak, jika munajatku direstui, akan kujaga dan kurawat cinta yang kudapatkan dengan ikhlas itu. Tak ada malam-malam yang terlewatkan dengan segala munajat itu. Aku benar-benar telah luruh dalam cinta yang telah kutitipkan padamu. Meski aku tahu, mencintaimu adalah risiko untuk mengalahkan semua egoku.
Aku tak ingin berhenti mencintaimu. Biar pun suatu hari nanti kamu tiada. Aku tetap akan mencintaimu. Mencintai harapan yang pernah kita sematkan bersama pada kunang-kunang di taman kota. Karena itu, jika rindu tetiba datang mengeluti ruang jiwa, aku bersegera menuju dermaga kecil ini, tentu saja ke taman kota setelah itu. Di taman, aku bertemu tulip dan kunang-kunang yang berkedip sempurna di pucuk dedaunan. Ia membawa rinduku padamu.
Aku tak pernah menyesal telah memilihmu untuk jatuh cinta. Dan, aku juga tahu bahwa cinta tak pernah ada kata menyesal. Kuharap kau juga begitu. Kita sama-sama telah jatuh cinta. Seharusnya, kita juga tidak pernah menyesal dengan pilihan itu. Mungkin inilah yang orang sebut takdir itu. Aku berharap itulah takdir yang telah dituliskan Tuhan. Aku siap menjalani. Dalam duka. Dalam suka. Aku berjanji akan menjaga cinta itu.
Pada senja yang selalu kunikmati di dermaga itu, aku berjanji mencintamu dengan cara yang sederhana. Sebab, mencintaimu itu merupakan hal terindah yang pernah hadir dalam hidupku. Mencintaimu tak bisa dibandingkan dengan materi apa pun, yang bisa dibeli atau dijual.
Kita memang tak perlu membeli atau menjual cinta. Ia datang dengan rasa. Agar ia bertahan, kita harus merawatnya dengan menaruh harapan dan kepercayaan. Cinta tidak buta. Ia melihat kebaikan-kebaikan, juga ketidakbaikan lainnya. Ia persona yang mampu mempersatukan dua hati yang berbeda.
Hanya aku yang bisa mencintaimu dengan cara yang sangat sederhana. Cara yang tak bisa kamu dapatkan dari orang lain. Jika sudah begini, aku teringat puisi yang ditulis Sapardi Djoko Darmono, yang judulnya “Aku Ingin.” Seperti dalam puisi itulah caraku mencintaimu. Cara mencintai yang sederhana. Bahkan: sangat sederhana.
Aku kerap diam-diam mencuri pandang padamu. Kadang bertingkah agar bisa menarik perhatianmu. Tetapi usahaku gagal waktu itu. Kamu tak melihat apa yang kulakukan untuk menarik perhatianmu. Melirik pun tidak. Aku kecewa saat itu. Kamu mengabaikan usaha yang telah kulakukan. Sungguh kamu terlalu.
Ketika pulang, pada malam yang sembab, aku bermunajat kepada pemilik hidup, agar jatuh cintaku padamu direstui. Kelak, jika munajatku direstui, akan kujaga dan kurawat cinta yang kudapatkan dengan ikhlas itu. Tak ada malam-malam yang terlewatkan dengan segala munajat itu. Aku benar-benar telah luruh dalam cinta yang telah kutitipkan padamu. Meski aku tahu, mencintaimu adalah risiko untuk mengalahkan semua egoku.
Aku tak ingin berhenti mencintaimu. Biar pun suatu hari nanti kamu tiada. Aku tetap akan mencintaimu. Mencintai harapan yang pernah kita sematkan bersama pada kunang-kunang di taman kota. Karena itu, jika rindu tetiba datang mengeluti ruang jiwa, aku bersegera menuju dermaga kecil ini, tentu saja ke taman kota setelah itu. Di taman, aku bertemu tulip dan kunang-kunang yang berkedip sempurna di pucuk dedaunan. Ia membawa rinduku padamu.
Aku tak pernah menyesal telah memilihmu untuk jatuh cinta. Dan, aku juga tahu bahwa cinta tak pernah ada kata menyesal. Kuharap kau juga begitu. Kita sama-sama telah jatuh cinta. Seharusnya, kita juga tidak pernah menyesal dengan pilihan itu. Mungkin inilah yang orang sebut takdir itu. Aku berharap itulah takdir yang telah dituliskan Tuhan. Aku siap menjalani. Dalam duka. Dalam suka. Aku berjanji akan menjaga cinta itu.
Pada senja yang selalu kunikmati di dermaga itu, aku berjanji mencintamu dengan cara yang sederhana. Sebab, mencintaimu itu merupakan hal terindah yang pernah hadir dalam hidupku. Mencintaimu tak bisa dibandingkan dengan materi apa pun, yang bisa dibeli atau dijual.
Kita memang tak perlu membeli atau menjual cinta. Ia datang dengan rasa. Agar ia bertahan, kita harus merawatnya dengan menaruh harapan dan kepercayaan. Cinta tidak buta. Ia melihat kebaikan-kebaikan, juga ketidakbaikan lainnya. Ia persona yang mampu mempersatukan dua hati yang berbeda.
Hanya aku yang bisa mencintaimu dengan cara yang sangat sederhana. Cara yang tak bisa kamu dapatkan dari orang lain. Jika sudah begini, aku teringat puisi yang ditulis Sapardi Djoko Darmono, yang judulnya “Aku Ingin.” Seperti dalam puisi itulah caraku mencintaimu. Cara mencintai yang sederhana. Bahkan: sangat sederhana.
Budi Miank | 191216