Ketika Pinang Bersua Ibu
ketika, pinang, bersua ibu, ketika pinang, bersua ibu, pinang bersua, ketika pinang bersua, pinang bersua ibu,
Ketika belia, ibu kerap meminta mengambil buah pinang di samping rumah. Kami tinggal menyendiri. Tak ada tetangga. Jaraknya dari radakng sejauh dua kilometer. Kami menyebutnya Dio Mee, pondok yang terletak di ladang.
Saya tidak pernah menanyakan alasan mengapa kami tidak lagi tinggal di radakng. Mungkin ayah punya jawaban. Tapi hingga keduanya berangkat ke dimensi lain, tak pernah mereka cerita alasannya. Jika melihat tulisan di pintu, kami mulai berdiam di dio mee pada 1978. Setidaknya itu yang ayah tulis menggunakan kapur sirih punya ibu.
Pinang sangat penting bagi ibu. Tanpa pinang apa yang dikunyah terasa hambar. Ini bumbu yang harus ada di topokng (tas kecil) ibu. Ibu bisa uring-uringan kalau di topokngnya tak ada pinang. Ibu hanya perlu satu hari untuk menghabiskan satu buah pinang. Dia memakainya bisa empat kali sehari. Kadang lebih. Ibu memadumadankan pinang dengan beberapa bumbu lainnya, seperti daun sirih, kapur sirih, gambir, dan tembakau. Pinang yang rasanya kelat itu diiris kecil-kecil, kemudian dicampur dengan yang lain, dan dibungkus dengan daun sirih. Dia kemudian menjadi mengunyahnya. Ibu menyirih.
Pinang dalam pot itu bukan untuk campuran sirih ibu lagi. Ibu sudah berangkat ke dimensi lain beberapa tahun lalu. Pinang itu coba ditanam sebagai upaya membuat bonsai. Saya tidak tahu, apakah ini sudah pernah tren atau belum? Saya hanya mencoba saja. Semoga dia bisa bertumbuh. Sehingga melihat pinang itu, mengingatkan saya kepada ibu, yang menyirih.
Kini, tak ada lagi pinang di samping rumah. Ia ikut pergi bersama ibu. Ia seolah tahu, kalau tuannya sudah pergi. Kami, para anaknya, tak ada yang ikut jejak ibu, yang kerap konsumsi pinang. Padahal pinang cukup bagus untuk kesehatan gigi. Tetapi sekarang pinang sudah menjadi komoditi ekspor. Ada cuan yang siap mengalir bila kita tanam pinang. Pinang tak lagi sekadar untuk kebutuhan para penyirih, ia juga jadi sumber ekonomi.
Saya tidak pernah menanyakan alasan mengapa kami tidak lagi tinggal di radakng. Mungkin ayah punya jawaban. Tapi hingga keduanya berangkat ke dimensi lain, tak pernah mereka cerita alasannya. Jika melihat tulisan di pintu, kami mulai berdiam di dio mee pada 1978. Setidaknya itu yang ayah tulis menggunakan kapur sirih punya ibu.
Pinang sangat penting bagi ibu. Tanpa pinang apa yang dikunyah terasa hambar. Ini bumbu yang harus ada di topokng (tas kecil) ibu. Ibu bisa uring-uringan kalau di topokngnya tak ada pinang. Ibu hanya perlu satu hari untuk menghabiskan satu buah pinang. Dia memakainya bisa empat kali sehari. Kadang lebih. Ibu memadumadankan pinang dengan beberapa bumbu lainnya, seperti daun sirih, kapur sirih, gambir, dan tembakau. Pinang yang rasanya kelat itu diiris kecil-kecil, kemudian dicampur dengan yang lain, dan dibungkus dengan daun sirih. Dia kemudian menjadi mengunyahnya. Ibu menyirih.
Pinang dalam pot itu bukan untuk campuran sirih ibu lagi. Ibu sudah berangkat ke dimensi lain beberapa tahun lalu. Pinang itu coba ditanam sebagai upaya membuat bonsai. Saya tidak tahu, apakah ini sudah pernah tren atau belum? Saya hanya mencoba saja. Semoga dia bisa bertumbuh. Sehingga melihat pinang itu, mengingatkan saya kepada ibu, yang menyirih.
Kini, tak ada lagi pinang di samping rumah. Ia ikut pergi bersama ibu. Ia seolah tahu, kalau tuannya sudah pergi. Kami, para anaknya, tak ada yang ikut jejak ibu, yang kerap konsumsi pinang. Padahal pinang cukup bagus untuk kesehatan gigi. Tetapi sekarang pinang sudah menjadi komoditi ekspor. Ada cuan yang siap mengalir bila kita tanam pinang. Pinang tak lagi sekadar untuk kebutuhan para penyirih, ia juga jadi sumber ekonomi.