Pernah Saling Jatuh Cinta, Namun tak Ditakdirkan untuk Menua Bersama

pernah, saling, jatuh, cinta, namun, tidak, ditakdirkan, menua, bersama, hidup, senja, aku, kamu


Aku pernah jatuh cinta padamu, begitu juga kamu. Aku berusaha agar cinta itu tetap terawat dengan sekuat yang aku mampu. Tapi kemudian, aku harus merelakannya tiada, mengikhlaskan kepergiannya. Walau berat, aku tak bisa mencegahnya. Begitu juga kamu. Aku dan kamu memang ditakdirkan untuk saling jatuh cinta, tapi tidak diizinkan untuk hidup bersama. Itu kuasa sang pencipta, yang memberi manusia kehidupan, memberi manusia cinta.

Aku, kamu, dan semua orang tak bisa mencegahnya. Aku tak bisa menentukan takdirku sendiri. Kamu juga begitu. Aku sudah berusaha semampu yang kubisa. Aku yakin kamu melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan. Tapi Tuhan tak mengizinkan kau dan aku hidup bersama. Itulah takdir.

Tetapi, dengan seizin Tuhan, aku selalu ingin bertemu denganmu. Aku selalu merindukan pertemuan-pertemuan setelah ini. Aku merindukan senyum yang membuat pipimu sedikit tertarik ke dalam. Ah, lesung pipi itu semakin melahirkan rindu yang teramat dalam. Aku tak akan pernah bosan mengenang perjalanan cinta yang sudah cukup panjang itu. Akan kukenang aroma semerbak dari hela nafasmu.

Rambut ikalmu yang kerap jatuh menutup wajah oval itu mengingatkanku pada hari-hari lalu, saat menikmati senja yang temaram. Jingga di ufuk barat melukiskan seribu kenangan pada tiap debur ombak yang menghantam dinding dermaga. 

“Pergilah. Tinggalkan semua kenangan yang buruk. Biarkan aku yang menggengamnya. Bawalah semua kenangan baik. Ia akan mengiringmu menuju jalan kebahagiaan,” kataku kepadamu sebelum benar-benar berakhir semuanya.

Ada getir di wajahmu. Sebulir air bening menetes perlahan dari ekor matamu, yang dulu memberiku keteduhan. Kamu terus menunduk. Aku hanya menahan amarah. Tapi tak bisa meluapkan amarah itu. Kamu terus menangis. Sedu sedan. Kadang sesunggukan. Aku yang sedari tadi membiarkanmu larut dalam tangis, tak sanggup untuk menghentikannya. Aku mencoba menyeka air yang membasahi pipimu. Tak ada lesung pipi yang kerap membuat rindu pada malam-malam yang lalu. Kamu begitu rapuh. Aku pun sebenarnya begitu. Tapi aku memilih diam. Aku hanya menangis dalam hati.

Lalu kubisikan satu kata padamu. “Kita memang tak bisa bersama, tapi kita bisa bertemu pada lain waktu dan ruang, tentu dengan seizin Tuhan.” Tak ada jawab dari bibirmu. Senyum pun tidak. Hanya matamu yang memandangku. Aku mencoba memberi senyum. Tapi kamu malah sesunggukan.

Pada senja yang selalu datang tepat waktu, aku selalu menghabiskan satu cerita tentangmu. Pada dermaga kecil di kota ini, aku selalu datang dan mengharap kamu datang membawa kabar tentang cinta yang Tuhan titipkan sejak kamu pergi meninggalkan kota ini. Cinta yang selalu kurawat dan selalu berharap menghabiskan senja bersamamu. Tapi hingga purnama kedua belas, asa itu hanya keniscayaan. Cintaku memang berbalas, tapi ia tak pernah sampai.

Tidak mudah bagiku untuk melupakanmu. Aku tak tahu apakah kamu juga merasakan hal yang sama. Kamu telah mengajaku menjalani hidup yang penuh warna ini. Walaupun tak seindah pelangi sehabis hujan. Setidaknya, kamu telah menghadirkan mimpi yang indah untukku, tentu saja untuk dirimu sendiri. Tetapi mimpi itu luluh ketika tidur berakhir. Ia hanya menjadi penghias lelap saja. Ia singgah agar tidur lebih pulas dan segar ketika terbangun esok harinya.

Walau kamu tak pernah tiba di dermaga itu, setidaknya hingga purnama kedua belas, aku tetap menunggumu. Entah apa namanya ini. Mungkin juga keras kepala. Mungkin juga kegilaan. Karena sulit rasanya melihatmu bermandi warna jingga senja lagi, seperti yang pernah kita lakukan pada tahun-tahun yang menggembirakan.

Aku tak pernah bisa meninggalkan kenangan-kenangan di dermaga itu. Begitu juga di taman tak jauh dari dermaga. Aku selalu ingat ketika kamu bilang, “kupu-kupu di taman selalu mengingatkanku pada kamu. Aku akan ke taman ini, jika merindu padamu. Aku tak peduli, apakah kau masih mau menemaniku menikmati kepak lembut kupu-kupu itu.” Aku hanya terdiam. Aku menerawang. Tak sanggup membayangkan apa yang ada di benakmu. Tetapi, itu menjadi kenyataan.

Mungkin saja, suatu hari nanti, aku kembali jatuh cinta. Janganlah kamu menganggapku telah melupakan apa yang telah kita lalu bersama. Kamu mesti tahu, aku selalu berharap suatu hari nanti, kita dipertemukan kembali. Entah itu untuk mematahkan takdir yang telah digariskan atau kembali melanjutkan takdir itu.

Aku tak peduli karena aku masih menyimpan harapan bahwa kamu akan kembali mengisi ruang hidupku yang kosong. Aku percaya cintamu dan cintaku belum usai. Semua cerita tentang kamu dan aku juga belum berakhir. Aku berharap akan ada cerita baru tentang cintaku dan cintamu. 

Ketika malam tiba, kunang-kunang menari di pucuk dedaunan. Kamu pernah bilang padaku, “kunang-kunang itu bintang terdekat yang bisa kau raih.” Ya, kamu benar. Kunang-kunang berkedip seperti bintang. Tetapi bintang sangat jauh. Sulit bagi manusia di bumi untuk meraihnya. Kunang-kunang yang begitu dekat saja, tak mudah untuk meraihnya.

Ia akan terbang jika ada yang mendekatinya. Walau kadang ada yang berhasil ditangkap. Kamu juga bilang kalau kunang-kunang itu binatang jenius yang bercahaya. Hampir 100 persen dari energi dalam reaksi kimia dipancarkan sebagai cahaya. Ia juga penggoda yang nyentrik. Ia memiliki pola spesifik kedipan cahaya. Inilah yang menggoda mata untuk melihatnya lebih lama.

Begitu juga kamu. Kamu seperti kunang-kunang yang sedang berkedip. Indah, nyentrik, dan membuat mataku betah untuk memandangmu. Tapi itu dulu. Sekarang aku hanya mengenang kedip kunang-kunang di taman ini. Ia tak sendiri berkedip. Manusia membuat lampu kedip yang dihasilkan dari tenaga listrik. Kunang-kunang juga pergi, seperti kamu. Tapi kamu belum tergantikan. Kamu tetap bersemayam dalam lubuk ini.

Ketika malam kian tua, terang tanah mulai bersekutu di ujung ufuk, aku masih saja menuliskan satu puisi dengan satu harapan kamu selalu berada di dekaktku. Sebab, kamu adalah puisi yang tak bisa kuterjemahkan dalam segara kata. Kamu adalah jalan pulangku.

--Senja dan Cinta yang tak Pernah Tiba

LihatTutupKomentar
Cancel