Aku Tahu itu Takdirmu Tetapi Kamu Bukan Takdirku

Aku tahu itu takdirmu, itu takdirmu, kamu bukan takdirku, bukan takdirku, potongan jejak, menuliskan takdirmu


Setengah windu setelah kau menuliskan takdirmu, aku belum bisa melupakan apa yang pernah kita lewati bersama. Selalu saja potongan-potongan jejak itu melintasi pikiran ini. Aku sudah berusaha move on, tetapi tidak juga kau berlari menjauh. Semakin aku berusaha melupakanmu, semakin dekat kau di mataku. Aku belum bisa membuka lembaran baru untuk cinta yang baru. Aku masih mengingatmu dengan segenap pikiranku. Itulah aku, yang tetap mencintaimu walaupun kamu sudah menuliskan takdirmu sendiri.

Takdirmu yang bukan untukku telah mengabaikan cinta yang kuperjuangkan. Aku berjuang merawat cinta yang kita titipkan pada pelangi, ketika kau memutuskan pergi ke kota lain untuk sebuah cita. Kau dan aku berjanji pada senja akan mengambil cinta itu bersama-sama, ketika tiba waktunya nanti. Ketika kau kembali ke kota ini setelah citamu tergapai. Kita sepakat untuk merawat cinta walau terpisah jarak. Kita bersumpah menjaga cinta yang long distance relationship itu. Ah, itu hanya berlaku untukku. Tidak bagi kamu.

Saat rinduku padamu menggebu. Aku menerima aksara tentang takdir yang telah kau tuliskan pada selembar undangan berwarna biru muda. Kamu menikah. Ya, kamu menikah. Bukan aku yang kau pilih sebagai pengantin di pelaminan itu. Bukan aku juga yang kau pasang cincin di jari manis ini. Bukan aku juga yang kau bawa untuk dipersembahkan di altar Tuhan. Seseorang lain yang kukenal yang mendampingimu ketika kelompok paduan suara menyanyikan lagu, “My Wedding.”

Aku berusaha tegar. Mempersiapkan pertahanan yang paling kokoh. Tak boleh ada air mata yang menganak sungai di wajah ini. Jingga boleh saja mewarnai langit sore, tapi ia tak boleh singgah di paras ini. Tak boleh. Aku harus tegar menerima kenyataan cinta. Aku tahu itu takdirmu. Dan, kamu bukan takdirku.

Walau perih, aku ucapkan selamat atas pernikahan kalian. Meski orang yang mendampingmu itu, dulu adalah orang yang pernah memiliki mimpi yang sama denganku. Mimpi untuk selamanya mencinta. Aku bahagia dalam ketidakrelaan. Bersama luka aku tersenyum melihat kau bahagia menggamit dia di kursi pelaminan itu. 

Aku tak bisa menyalahkan dia yang telah memilikimu sekarang. Aku juga tak bisa mengatakan keadaanlah yang salah. Tak bisa juga kamu disalahkan karena sebuah pergaulan di negeri seberang. Ah, aku jadi teringat ketika satu hari kau membawaku ke dermaga kayu, sebelum kau berangkat. Kita menikmati senja yang sempurna. kita tertawa melihat penambang sampan yang menggoda dengan suitan panjang. Kita tersenyum melihat anak-anak terjun dari dermaga untuk menikmati air kapuas yang tak lagi jernih. Aku tak menyangka, jika itu adalah senja terakhir yang bisa kita nikmati bersama. Setelah itu, aku hanya menikmati senja sendiri. Sementara kamu menikmati senja bersama dia yang telah kau pilih itu. Entah bagaimana aku aku menata hati ini kembali?

---Senja dan Cinta yang tak Pernah Tiba

LihatTutupKomentar
Cancel